Laporan
Hasil Riset Pengantar (preliminary research) Kondisi Industri
Warnet Indonesia
September 2003 |
||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||
I. Pengantar Peminatan masyarakat Indonesia untuk mengakses Internet di warung Internet (warnet), menurut hasil riset AC Nielsen terkini, menunjukan angka pertumbuhan yang cukup signifikan. Jika pada 2000 warung Internet (warnet) merupakan tempat favorit bagi 50% pengguna Internet, maka pada 2004 ini diperkirakan meningkat menjadi 64%. Peningkatan tersebut ternyata merupakan dampak dari turunnya jumlah pengguna akses rumahan menjadi 7% tahun ini, dari 13% pada 2000. Tren penurunan tersebut diikuti pula oleh pengguna akses kantoran, dari 42% pada 2000 menjadi 18% tahun ini. Tren meningkatnya pengguna warnet perlu dicermati, karena memiliki dua sisi yang saling bertolak-belakang. Positifnya, dengan tumbuhnya para pengguna warnet, maka diharapkan para pengusaha warnet akan dapat memanen untung dan meningkatkan usahanya. Hal tersebut akan memacu para pemilik modal untuk menanamkan pundi-pundi uangnya pada bisnis warnet. Walhasil, masyarakat akan semakin menikmati mutu layanan dan biaya akses Internet yang kompetitif, seiring dengan terciptanya persaingan yang sehat antar warnet. Di sisi lain, meningkatnya jumlah pengguna warnet, bukan tidak mungkin akan menyeret para pemilik modal untuk membangun warnet hanya sebagai profit center. Margin keuntungan hanya akan dihitung berdasarkan nilai nominal uang yang masuk dalam meja kasir. Warnet tidak diposisikan, setara dengan perpustakaan, yang harus dikawal, dijaga dan dirawat sebagaimana lazimnya sebuah perpustakaan misalnya. Inilah yang menyebabkan mengapa warnet pada akhirnya menjadi sentra informasi dan aktifitas apa saja, termasuk cybercrime. Industri warnet tentunya juga tak surut dari terpaan masalah-masalah yang melingkupi keberadaan warnet. Tak heran, ketika banyak warnet bermunculan bak cendawan di musim hujan, banyak pula warnet yang gugur meninggalkan nama. Permasalahan muncul silih-berganti. Aspek hukum, aspek bisnis, aspek keamanan dan aspek teknologi merupakan suatu problematika yang khas bagi tiap warnet, di tiap daerah. Melihat kondisi-kondisi yang telah dipaparkan di atas, maka Center for ICT Studies Foundation - ICT Watch bekerjasama dengan USAID – PEG melakukan inisiatif mengadakan penelitian kualitatif pendahuluan (preliminary qualitative research) ke beberapa kota besar di Indonesia, yaitu Jogja, Medan, Makassar, Bandung dan Jakarta suburban. Dipilihnya kelima kota tersebut, merupakan hasil pra-riset ICT Watch atas kota-kota dengan kualitas dan kuantitas industri warnet yang unik, dan tentu disesuaikan dengan ketersediaan anggaran dan waktu penelitian. Dalam tiap kota tersebut, dipilih secara acak 10 warnet sebagai responden penelitian. Penelitian tersebut bersifat kualitatif yang ditunjang oleh focus group discussion (FGD) dengan beberapa nara sumber yang dianggap memiliki pemahaman komprehensif tentang industri warnet setempat. Penelitian lapangan tersebut dilakukan sejak 10 Agustus 2003 hingga 20 Agustus 2003. Untuk memberikan gambaran umum atas hasil penelitan tersebut, bersama ini ICT Watch paparkan hasil penelitian tersebut. Tentu saja ICT Watch menyadari bahwa hasil penelitian pendahuluan ini belumlah dapat dikatakan komprehensif. Meskipun demikian ICT Watch berharap agar hasil penelitian ini bisa bermanfaat bagi khalayak pembaca. Akhir kata, ICT Watch mohon maaf atas segala kekurangan ICT Watch dan terimakasih atas perhatiannya. Terimakasih, Ttd. Donny B.U.
(data
#4)
(data
#5)
III. Profil Singkat Warnet Jogja Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai kegiatan usaha warnet di Jogja, ICT Watch mengadakan penelitian lapangan dengan melakukan wawancara terstruktur kepada 10 pengelola warnet. Selain wawancara terstruktur dalam bentuk kuesioner, penelitian juga dilakukan melalui focus group discussion (FGD) secara terpisah dengan Stephanus Edi Pambudi (mantan ketua Asosiasi Warnet Yogyakarta – AWAYO dan salah seorang pengelola sebuah warnet waralaba) dan Hadi Sutikno (pemilik dan pengelola sebuah jaringan warnet).
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Jogja diketahui bahwa 8 dari 10 responden tidak memiliki badan hukum. Sedangkan responden lainnya, 1 responden berbadan hukum PT sedangkan 1 responden berbadan hukum CV. Alasan mereka yang tidak berbadan hukum adalah karena menganggap bahwa usaha warnet merupakan usaha kecil dan tidak memerlukan badan hukum ataupun peraturan tersendiri untuk beroperasi. Sebanyak 7 dari 10 responden mengaku tidak mengetahui adanya peraturan yang harus dipenuhi untuk menjalankan usahanya. Sedangkan 2 dari 3 responden yang mengaku memahami adanya peraturan yang harus dipenuhi tersebut, merupakan warnet yang telah memiliki badan hukum. Menyangkut aspek perijinan yang dimiliki, hanya 2 responden yang mengaku mengurus perijinan yang diperlukan untuk menjalankan usahanya, dan mereka adalah warnet yang berbadan hukum. Sedangkan 8 responden lainnya mengaku tidak mengurus berbagai perijinan tersebut, umumnya dengan alasan sulit/berbelit-belit dan memerlukan biaya besar. Warnet yang melakukan pengurusan ijin secara relatif lengkap menghabiskan biaya hingga Rp. 3.150.000,- dan memakan waktu 2 minggu hingga 1 bulan. Ijin yang mereka urus meliputi Ijin Gangguan (Hinder Ordonentie - HO), SIUP, ijin penggunaan frekwensi serta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), mengingat mereka memang sudah berstatus badan hukum. Alasan kedua responden tersebut mengurus perijinan adalah mengikuti peraturan yang berlaku untuk perusahaan. Setelah dikaji lebih jauh, ternyata seluruh responden sesungguhnya telah memiliki perijinan, minimal dalam bentuk HO. Menurut responden, HO memang sebuah bentuk ijin yang harus dimiliki oleh semua bentuk usaha, termasuk warnet di Jogja, khususnya di daerah perkotaan. Untuk pengurusan HO tersebut mereka mengaku tidak mendapat kesulitan dan biaya yang dikeluarkan relatif tidak besar. Berkaitan dengan segi perijinan, hanya 4 responden menyatakan tidak keberatan adanya regulasi warnet melalui peraturan pemerintah, asalkan tidak memberatkan mereka dari sisi finansial serta tidak menerapkan birokrasi yang berbelit-belit. Salah satu hal yang disepakati mereka untuk diatur adalah masalah persaingan usaha, khususnya untuk harga sewa pelanggan warnet. Sedangkan 6 responden yang lain lebih menyerahkan mekanisme persaingan usaha tersebut secara alamiah. Berkenaan dengan retribusi/iuran, seluruh responden mengaku membayar beragam retribusi dengan jumlah bervariasi antara Rp. 10.000,- hingga Rp. 40.000,- perbulan. Retribusi tersebut umumnya meliputi uang kebersihan dan keamanan, dan biasanya dikelola/dipungut oleh pamong atau petugas lingkungan setempat (RT/RW). Umumnya pengelola warnet merasa tidak berkeberatan dengan jenis-jenis pungutan ini karena memang hal tersebut sudah dianggap kelaziman oleh warga. Selain itu, dengan membayar uang keamanan, warnet yang biasanya tidak memiliki tenaga pengamanan sendiri merasa terbantu dengan sistem pengamanan yang dikelola warga setempat. Di beberapa tempat ada pula bentuk pungutan liar yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak jelas, mulai dari kelompok kriminal setempat hingga orang-orang yang mengatasnamakan kelompok pemuda, partai, ormas, atau institusi tertentu. Pungutan yang dilakukan pihak-pihak ini biasanya disertai dengan ancaman, dan karena enggan berurusan lebih jauh pengelola warnet umumnya memberikan sejumlah uang dalam bentuk yang dianggap wajar, yakni berkisar Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu per bulannya. Namun menurut beberapa responden, pungutan tersebut bisa mencapai Rp 500 ribu perbulannya. Bagi pelaku usaha, salah satu aspek penting dalam menjalankan usaha adalah adanya kepastian hukum/peraturan. Hal yang paling sering menjadi momok bagi pelaku usaha warnet adalah berkenaan dengan ijin penggunaan frekwensi 2,4 GHz yang hingga kini belum diatur secara komprehensif. Mereka khawatir bahwa nantinya ketidakjelasan tersebut digunakan untuk mencari keuntungan oleh pihak-pihak tertentu. Sangat beralasan memang, karena hampir seluruh warnet di Jogja menggunakan teknologi WaveLAN yang menggunakan frekwensi tersebut. Meskipun merasa cemas, responden mengakui bahwa di Jogja umumnya sangat jarang terjadi sweeping/razia. Dari 10 responden, hanya 1 yang pernah didatangi petugas menanyakan kelengkapan ijin penggunaan peralatan wireless. Namun setelah didesak, ternyata oknum tersebut tidak memiliki surat perintah atau dasar hukum yang jelas untuk melakukan pendataan/pemeriksaan. Bentuk sweeping yang sering dikeluhkan oleh pengusaha warnet di Yogya justru bentuk-bentuk sweeping yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak jelas. Satu responden tercatat pernah mengalami sweeping dari sekelompok orang yang menanyakan izin/royalti terhadap penayangan musik, lagu, ataupun film di warnet, dengan alasan penayangan kekayaan intelektual di tempat umum/ruang publik harus membayar royalti. Ada pula pemaksaan pembatasan waktu operasi warnet oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan warga. Sebuah warnet di selatan kota Yogya tercatat pernah mengalami pemaksaan pembatasan waktu operasi dengan alasan warnet digunakan sebagai sarana untuk mengakses pornografi, sehingga perlu dilakukan pembatasan waktu operasi.
Jam operasional warnet di Jogja umumnya adalah selama 24 jam. Dari 10 responden hanya 3 yang menyatakan membuka warnetnya mulai sekitar pukul 08.00 hingga sekitar pukul 02.00, atau setidaknya menunggu hingga pelanggan terakhir usai. Waktu berdiri warnet yang dikelola reponden sangat beragam, yang terlama pada Februari 1999 dan yang terbaru pada bulan Oktober 2001. Usaha warnet di Jogja umumnya tergolong usaha kecil dan menengah. Dari hasil penelitian diindikasikan sebagian besar modal awal responden berkisar dari Rp 40 juta hingga Rp 100 juta, hanya sejumlah 3 responden yang memiliki modal awal diatas Rp 100 juta. Jika dirata-rata secara umum, ada 6 responden di Jogja yang memiliki modal setara atau lebih dari US$ 10 ribu, dengan asumsi kurs terendah 1 US$ = Rp 8000. Sumber modal 5 responden didapat dari uang sendiri sedang 5 responden lain mengaku modalnya berasal dari usaha bersama/patungan, tidak satupun responden memperoleh modal berupa pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lain. Seiring berjalannya waktu, 4 dari 6 responden melakukan penambahan modal untuk mengembangkan usahanya. Sebanyak 6 responden memperkirakan aset warnet mereka saat ini bernilai sekitar Rp 20 juta hingga Rp 55 juta. Sedangkan 3 responden memperkirakan aset mereka senilai Rp 100 juta dan 1 responden lain sebesar Rp 230 juta. Jumlah pegawai yang dipekerjakan warnet sangat bervariasi, 4 responden memiliki pegawai sebanyak 2 hingga 5 orang, 5 responden memiliki 5 hingga 11 orang, sedangkan 1 responden mengaku memiliki hingga 35 orang termasuk petugas parkir, kebersihan, dan keamanan. Pendidikan terakhir pegawai warnet umumnya SMU/sederajat hingga D3 dengan gaji sebesar Rp 250 ribu – Rp 500 ribu sebulan, namun 3 responden menyatakan memberikan gaji sebesar Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta untuk pegawai bidang teknis yang berpendidikan S1. Untuk pegawai bidang teknis ini memang memerlukan pendidikan/keahlian khusus bidang IT, sehingga wajar jika digaji jauh melebihi gaji rata-rata pegawai lain. Teknisi IT tersebut biasanya bertanggung jawab mengatur konfigurasi jaringan dan koneksi warnet serta melakukan perawatan/perbaikan terhadap perangkat warnet. Jumlah komputer server yang dimiliki warnet rata-rata 1 hingga 2 buah, yaitu untuk kepentingan billing dan router. Sedangkan untuk komputer client, 4 responden memiliki 6 hingga 10 buah, 4 responden memiliki 12 hingga 18 buah, 1 responden memiliki 30 buah dan 1 responden memiliki 65 buah. Jumlah pelanggan warnet dalam sehari umumnya berjumlah kelipatan 5 hingga 7 dari jumlah komputer client yang dimiliki. Uniknya, kecenderungan menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah komputer client yang dimiliki warnet, perbandingan jumlah pelanggan perhari tersebut turun hingga 4 - 5 kali jumlah komputer client. Segmen pasar nampaknya menjadi pertimbangan utama dalam memilih lokasi untuk membuka usaha warnet di Jogja. Seluruh responden memperkirakan kriteria pelanggan terbanyak mereka adalah dari kalangan mahasiswa diikuti pelajar dan pegawai/umum. Inilah yang menjadi alasan mengapa umumnya warnet membuka usaha disekitar kampus ataupun tempat tinggal mahasiswa. Akibatnya adalah usaha warnet di Jogja tampak terkonsentrasi disekitar kampus ataupun tempat tinggal mahasiswa. Meskipun terkesan sangat terkonsentrasi di lokasi-lokasi tertentu, para pengelola warnet tersebut umumnya tidak merasa khawatir kekurangan pelanggan. Hal ini wajar mengingat jumlah mahasiswa dan pelajar di Jogja memang tergolong sangat besar, sehingga pengelola warnet tidak segan-segan untuk membuka usaha berdampingan dengan beberapa pesaing sekaligus. Untuk menyiasati pendapatan yang kurang memadai umumnya warnet menyediakan berbagai macam layanan tambahan, meliputi jasa pengetikan, scanning gambar, printing, hingga perbaikan hardware untuk mendapatkan tambahan pendapatan. Usaha sampingan yang paling diminati pengelola warnet adalah penjualan makanan dan minuman karena memang biasanya para pelanggan menghabiskan waktu cukup panjang di warnet. Hanya 1 responden menyatakan tidak memiliki usaha sampingan dengan alasan terlalu merepotkan. Tarif yang ditawarkan warnet di Jogja umumnya berkisar Rp 3000 per jam hingga Rp 3800 per jam, disesuaikan dengan tingkat kemampuan mahasiswa sebagai segmen pelanggan terbesar mereka. Sebanyak 5 dari 5 responden menyatakan bahwa tarif yang mereka tawarkan sebenarnya belum memberikan keuntungan yang memadai dan mengatakan bahwa tarif ideal bagi warnet berkisar pada harga Rp 4000 per jam. Namun perlu dicatat bahwa dari 5 responden yang memiliki tarif Rp 3000 hingga Rp 3500 per jam, mengatakan bahwa tarif warnet yang mereka tawarkan telah memadai merupakan warnet yang memiliki sendiri bangunan/ruang untuk menjalankan usaha, sehingga mereka relatif tidak terpengaruh komponen sewa tempat yang terhitung cukup besar. Sebenarnya beberapa tahun lalu tarif warnet di Yogyakarta sempat mencapai Rp 4000 hingga Rp 5000 per jam, tetapi karena persaingan harga yang terlalu berlebihan dan melakukan perang tarif, banyak warnet yang akhirnya gulung tikar dan standar tarif warnet sudah terlanjur sulit untuk diangkat kembali mengingat pelanggan warnet di Jogja adalah tipe pelanggan yang sensitif harga. Kenaikan tarif sebesar 100 hingga 200 rupiah akan berdampak pada penurunan jumlah pelanggan, dan dibutuhkan waktu 3 hingga 4 bulan untuk mengembalikan jumlah pelanggan pada angka semula, bahkan setelah tarif diturunkan kembali ke angka semula. Diperkirakan sekitar 30% warnet gulung tikar karena perang harga yang dilakukan pesaing-pesaingnya. Meskipun demikian, beberapa responden secara optimis menyatakan bahwa secara perlahan tarif warnet akan dikembalikan ke posisi ideal. Penghasilan bersih warnet responden rata-rata adalah Rp 2 juta per bulan. Namun ada pula 2 responden yang mengaku mendapat penghasilan hingga sekitar Rp 3 juta hingga Rp 4 juta per bulan, dan 1 responden mengaku mendapatkan penghasilan bersih hingga Rp 8 juta per bulan. Pengeluaran rutin mereka antara lain adalah untuk koneksi Internet, dengan perincian 3 responden mengeluarkan Rp 1 juta – Rp 2 juta, 4 responden mengeluarkan biaya Rp 2 juta hingga Rp 3,5 juta, 2 responden mengeluarkan biaya Rp 5,5 juta hingga Rp 8,5 juta dan 1 responden membayar biaya koneksi hingga Rp 17 juta per bulan lantaran menyewa bandwidth langsung dari luar negeri. Sedangkan untuk konsumsi listrik, periciannya adalah 8 responden membayar biaya listrik sebesar Rp 600 ribu – Rp 1,5 juta per bulan, 1 responden yang tergolong warnet skala menengah membayar biaya listrik sebesar Rp 3 juta per bulan, 1 responden yang tergolong warnet skala besar membayar biaya listrik sebesar Rp 9 juta per bulan. Untuk gaji pegawai per bulan, perinciannya adalah 4 responden mengeluarkan sebesar Rp 600 ribu – Rp 900 ribu, 4 responden mengeluarkan sebesar Rp 1 juta – Rp 2 juta, 1 responden yang tergolong warnet menengah mengeluarkan Rp 3 juta dan 1 responden yang tergolong warnet besar mengeluarkan Rp 26 juta. Biaya sewa bangunan pada umumnya sama, berkisar antara Rp 400 ribu – Rp 1 juta. 3. Keamanan fisik dan jaringan Secara umum pelaku usaha warnet di Jogja mengatakan bahwa tingkat keamanan lingkungan di sekitar warnet cukup baik, meskipun satu responden menyatakan bahwa selain pencurian komponen komputer client, pernah juga terjadi penodongan kepada penjaga warnet untuk menyerahkan uang hasil pemasukan warnet. Pada umumnya pengelola warnet tidak menyewa tenaga pengamanan khusus semisal Satpam untuk menjaga keamanan warnet. Meskipun ada pula 2 responden yang memang memiliki modal besar, menyewa jasa keamanan Satpam. Pada dasarnya, para pengelola warnet lebih banyak mengandalkan pada sistem pengamanan lingkungan yang dikelola warga setempat, sehingga biaya yang mereka keluarkan untuk keamanan tergolong rendah. Mengenai pencurian oleh pelanggan, 8 dari 10 responden menyatakan pernah terjadi pencurian aset warnet, terutama pencurian terhadap komponen komputer client. Padahal, 9 dari 10 responden menyatakan bahwa mereka sudah memasang alat pengaman tambahan berupa kotak ataupun jeruji pengaman untuk mencegah pencurian terhadap komponen komputer client mereka. Umumnya pencurian tersebut dilakukan dengan jalan membongkar paksa casing CPU. Komponen yang paling sering menjadi sasaran adalah harddisk dan RAM, karena memang harganya cukup mahal. Selain itu, mouse dan headphone juga menjadi target pencurian karena ukurannya yang kecil dan mudah untuk dilepas. Hanya 2 responden yang menyatakan bahwa mereka tidak memasang alat pengaman tambahan pada komputer client mereka dengan alasan tempat pelanggan relatif terbuka sehingga dirasa cukup aman. Memang, pemilihan desain booth seringkali tidak diperhitungkan secara mendalam oleh pengelola warnet. Umumnya yang mereka pikirkan adalah bagaimana memberikan privasi kepada pelanggan, sehingga aktifitas pelanggan seringkali tidak terlihat. Berkaitan dengan aktifitas cybercrime, 8 responden memahami bahwa secara umum warnet kerap digunakan untuk melakukan aktifitas carding, cracking, ataupun hacking. Saat diwawancara lebih jauh, 7 responden mengetahui bahwa warnet yang mereka kelola sering digunakan sebagai tempat untuk melakukan kejahatan tersebut. Umumnya warnet membiarkan aktifitas pelaku karena merasa apa yang dilakukan pelanggan bukanlah tanggung jawab warnet. Kegiatan cybercrime melalui warnet di Jogja diindikasikan cukup terorganisir. Menurut beberapa pengelola warnet, umumnya mereka melakukan aktifitasnya secara berkelompok pada jam-jam tertentu, biasanya larut malam saat pengunjung warnet telah sepi. Saat kegiatan mereka mulai diketahui oleh pengelola warnet umumnya mereka segera berpindah tempat ke warnet yang lain agar tidak mudah dilacak. Namun, ada juga pengelola warnet yang mengaku pernah didatangi oleh kelompok carder yang berniat menyewa tempat khusus yang terpisah dengan imbalan yang cukup tinggi untuk jangka waktu tertentu. Tujuannya adalah agar aktifitas mereka tidak terganggu. Pengelola warnet tersebut menolak tawaran mereka karena dianggap beresiko. Sedangkan fenomena penggunaan warnet untuk mengakses pornografi, seluruh responden menyatakan kerap menemukan warnetnya digunakan untuk mengakses pornografi. Umumnya responden menyatakan membiarkannya saja, dengan alasan umum yaitu hal tersebut adalah hak dan tanggung-jawab pelanggan. Sedangkan 1 responden menyatakan akan menegur apabila yang menggunakan adalah mereka yang masih berstatus pelajar. Meskipun demikian, secara umum para responden menyatakan tidak mengawasi aktifitas pelanggan mereka dengan alasan tidak ingin mengganggu privasi pelanggan. Untuk mengamankan
kinerja komputer client yang mereka miliki, umumnya warnet Sedangkan untuk sisi keamanan jaringan, sebanyak 8 dari 10 responden menyatakan mereka memasang aplikasi firewall server ataupun client untuk mencegah masuknya aplikasi-aplikasi yang dapat membahayakan komputer client ataupun kerahasiaan pelanggan. Untuk metoda pengenalan pelanggan, terdapat 1 responden yang melakukan pencatatan terhadap identitas resmi pelanggan dan 1 responden lain yang sekedar melakukan pencatatan nama. Sedangkan responden lainnya mengaku tidak melakukan pencatatan identitas pelanggan dengan alasan merepotkan. Beralasan memang, apabila banyak pengelola enggan melakukan pencatatan identitas pelanggan. Dengan tenaga operator warnet yang sangat terbatas, memang sulit untuk melakukan pencatatan identitas sekaligus memberikan pelayanan atau bantuan bagi pelanggan yang lain. Hal yang lain adalah 9 dari 10 responden menyatakan tidak menyimpan log aktifitas pelanggan, terutama dengan alasan menghabiskan ruang harddisk, sehingga praktis tidak ada metode pencatatan yang memadai apabila sewaktu-waktu diperlukan penyidikan. Meskipun pengelola sadar bahwa warnet seringkali dijadikan sarana kejahatan elektronik, nampaknya belum ada kesadaran untuk melakukan upaya-upaya pencegahan. Mereka beranggapan bahwa apa yang dilakukan pelanggan bukanlah tanggung jawab warnet, sehingga mereka merasa tidak melanggar hukum apabila kemudian ada pelanggan yang menggunakan warnetnya untuk melakukan tindak kejahatan. Pengelola warnet umumnya tidak menyadari bahwa meskipun mereka tidak terkena hukuman saat pelanggan menyalahgunakan warnetnya, usaha mereka bisa saja terganggu jika dalam penyidikan perangkat mereka dibawa pihak penyidik sebagai barang bukti, ataupun jika mereka dijadikan saksi dalam suatu penyidikan oleh pihak berwenang.
Umumnya akses Internet, rata-rata warnet di Jogja menggunakan wireless 2,4 GHz, dengan kecepatan beragam, antara 32 Kbps hingga 64 Kbps, yang terkoneksi dengan pihak Internet Service Provider (ISP). Alasan utama penggunaan teknologi ini adalah biaya operasionalnya yang relatif murah dibandingkan teknologi lain. Dari 10 responden, 9 diantaranya menggunakan teknologi wireless dan hanya 1 responden yang menyatakan menggunakan teknologi internet cable. Alasan tidak menggunakan teknologi wireless karena antena yang mereka pergunakan saat menggunakan teknologi wireless terlalu sering disambar petir, sehingga biaya perbaikannya menjadi sangat mahal. ISP yang digunakan oleh para warnet responden antara lain Lcnet (3 responden), Pasific Satelit Nusantara (3 responden), dan responden lainnya menggunakan ISP yang beragam, semisal YogyaMedianet, Interpacket, dan sebagainya. Para responden cukup puas dengan layanan ISP mereka masing-masing Setelah melakukan penelitian lapangan dan melakukan wawancara intensif, umumnya pengelola warnet menyatakan sepengetahuan mereka sudah tidak ada lagi warnet di Jogja yang menggunakan teknologi Dial-Up. Mereka menyatakan bahwa teknologi dial-up tidak lagi menguntungkan bagi usaha warnet. Dari sisi harga, tarif teknologi dial-up tidak berbeda jauh dengan tarif koneksi wireless. Padahal, kecepatan koneksi dial-up jauh tertinggal dibandingkan kecepatan koneksi wireless, sehingga bisa dipastikan pelanggan akan cenderung tidak memilih koneksi dial-up yang lambat. Sebanyak 8 responden menyatakan bahwa sistem operasi komputer server yang digunakaan adalah berbasis Open Source semisal Linux. Hanya satu responden yang mengaku menggunakan Windows NT. Umumnya, alasan penggunaan sistem operasi Linux pada server karena sistem operasi ini bekerja lebih stabil dibandingkan sistem operasi berbasis Windows. Selanjutnya, diketahui bahwa seluruh responden menggunakan Windows 98 sebagai sistem operasi komputer client. Alasannya karena sistem operasi ini adalah sistem yang sudah paling dikenal oleh pelanggan, sehingga penggunaan sistem opersi lain akan menyulitkan pelanggan. Hanya 1 responden menambah sistem operasi Linux disamping sistem operasi Windows 98 di sebagian komputer client yang dimilikinya, karena beberapa pelanggannya memang terbiasa menggunakan sistem operasi tersebut. Software aplikasi yang sering terpasang di komputer client secara umum adalah Microsoft Office, ACDSee, mIRC, Yahoo Messenger, Opera, Acrobat Reader, ICQ dan Winzip. Umumnya pengelola warnet menyadari bahwa penggunaan software proprietary tanpa membayar lisensi sebagaimana yang mereka lakukan adalah perbuatan melanggar undang-undang, dan dari hasil penelitian diketahui bahwa seluruh responden tidak memiliki lisensi sistem operasi / aplikasi yang mereka gunakan. Namun, mereka menyatakan bahwa skala usaha warnet tidak memungkinkan mereka untuk membeli lisensi software proprietary yang dirasa sangat mahal. Hanya 1 responden yang menyatakan akan membeli lisensi software yang mereka gunakan, sedangkan reponden lainnya akan tetap menggunakan sistem operasi Windows bajakan kecuali ada larangan atau teguran langsung dari pihak berwenang kepada mereka untuk tidak menggunakan software bajakan tersebut. ===== Peneliti: Yan Aryanto, S.IP. (ICT Watch researcher – yan@ictwatch.com)
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai kegiatan usaha warnet di Medan, ICT Watch mengadakan penelitian lapangan dengan melakukan wawancara terstruktur kepada 10 pengelola warnet. Selain wawancara terstruktur dalam bentuk questionare, penelitian juga dilakukan melalui focus group discussion (FGD) secara terpisah dengan Sie Ket Liong (staf TI JICA di Medan) dan Berlin Gulo (pemerhati warnet). 1. Badan Hukum dan Perijinan Dari 10 responden yang diwawancara, hanya 3 yang memiliki badan hukum. Dengan perincian 1 responden berbadan hukum PT, 1 responden berbadan hukum Yayasan dan 1 responden berbadan hukum Koperasi. 7 responden lainnya dijalankan secara perorangan atau perusahaan pribadi. ICT Watch temukan pula 1 responden yang sebelumnya telah memiliki ijin pendidikan dan menjalankan aktifitas pendidikan atau pelatihan komputer pada awalnya. Karena bidang pendidikan dianggap tidak akan menguntungkan, kegiatan pendidikan tersebut dialihkan menjadi kegiatan bisnis semata, tanpa mengurus ijin baru. Berkenaan dengan pengetahuan akan adanya peraturan pemerintah, semua responden mengatakan tidak ada peraturan pemerintah yang mengatur mengenai usaha warnet. Jika kemudian pemerintah akan membuat peraturan mengenai penyelenggaraan warnet, 6 responden yang mengatakan perlu dibuat peraturan agar persaingan bisnis warnet di Medan dapat berlangsung secara sehat. 3 responden lainnya mengatakan tidak perlu diatur karena kuatir peraturan tersebut akan menjadi hambatan bagi bisnis warnet., sedangkan 1 responden mengatakan akan melihat terlebih dahulu tentang isi materi peraturan apakah akan menguntungkan atau tidak bagi kegiatan usahanya. Sekedar catatan, 6 responden yang setuju untuk adanya peraturan tentang warnet tersebut adalah para warnet dari kelas menengah yang rentan dengan persaingan harga yang tidak sehat. Terpusatnya penyelenggaraan warnet hanya di titik-titik tertentu saja di kota Medan, menyebabkan masalah persaingan harga menjadi masalah yang terpenting bagi mereka. Pada intinya, mereka menyatakan tidak berkeberatan sepanjang tidak memberatkan mereka dari sisi finansial serta tidak menerapkan birokrasi yang berbelit-belit. Mengenai retribusi atau pungutan bulanan yang menjadi kewajiban para responden berkisar antara Rp 50 ribu sampai dengan Rp 150 ribu per bulan, tergantung pada lokasi warnet tersebut. Restribusi tersebut lebih diperuntukkan sebagai jaminan keamanan yang dibayarkan kepada suatu kelompok tertentu. Hanya satu warnet yang memiliki kewajiban untuk membayar restribusi atau pajak iklan kepada Pemerintah Kota. Itupun hanya dilakukan satu kali dalam setahun. Reponden lainnya, usaha warnet di kota medan dapat dikatakan bebas dari pajak atau pungutan resmi yang harus dikeluarkan dalam periode tertentu. ICT Watch mendapatkan informasi pula bahwa terdapat keterlibatan organisasi pemuda setempat dalam “mengamankan” daerah warnet, dengan imbalan warnet sekitar harus membayar “uang kemanan” berkisar antara Rp 50 ribu hingga Rp 150 ribu per bulan. Jika tidak membayarkan restribusi tersebut, pengelola warnet menjadi merasa tidak aman. Untuk restribusi resmi yang rutin harus dibayarkan kepada pemerintah, biasanya berkaitan dengan pajak. Hanya 1 responden yang membayar pajak, berkaitan dengan peraturan pemerintah mengenai papan reklame / iklan. Warnet tersebut setiap tahunnya membayar pajak iklansebesar Rp 150 ribu per tahun. Restribusi rutin lainnya ialah iuran resmi kepada RT/RW setempat, karena tiap kegiatan usaha seperti warnet misalnya, dianggap sebagai sumber pemasukan daerah tersebut. Para respoden menyatakan belum pernah mengalami sweeping/razia. 2. Model Bisnis dan Aktifitas Usaha Jam operasional dari 10 warnet respoden maksimum 16 jam yaitu dari pukul 08.00 hingga pukul 24.00. Warnet-warnet tersebut melakukan kegiatan usahanya mengikuti kebiasaan dan aktifitas pengguna yang notabene adalah warga sekitar warnet tersebut. Untuk wilayah kampus misalnya, mereka akan mengikuti pola kehidupan para mahasiswa. Sedangkan warnet yang berada di sebuah pusat pertokoan, akan mengikuti jam operasional pusat pertokoan tersebut. Waktu berdiri warnet cukup beragam, yang terlama adalah pada April 1999 hingga yang terbaru adalah pada Mei 2003. Modal awal rata-rata warnet di Medan diatas Rp 70 juta. Hanya satu responden yang bermodalkan sekitar Rp 60 juta. Jika dirata-rata secara umum, ada 9 responden di Medan yang memiliki modal setara atau lebih dari US$ 10 ribu, dengan asumsi kurs terendah 1 US$ = Rp 8000. 3 dari 10 warnet menyatakan sumber modal pendirian berasal dari biaya bersama karena mereka berbadan hukum. Sedang 7 responden lainnya mengatakan bahwa modal pendirian berasal dari uang pribadi. Hanya responden yang berbadan usaha PT yang telah mengalami penambahan modal dan menjalin kerjasama dengan pihak ketiga, semisal pihak perbankan untuk menambah modal usaha. Responden lainnya dapat bertahan hidup dengan cara melakukan efisiensi untuk menekan biaya operasional. Dalam mempertahankan kegiatan usahanya, seluruh responden melakukan usaha sampingan. Ada 1 responden yang menyelenggarakan usaha sampingan cukup banyak, yaitu pelatihan komputer/Internet, game center, jasa pengetikan, printing, scanning, web disain dan menjual makanan/minuman. Sedangkan 9 responden lainnya hanya menjalankan usaha sampingan kecil-kecilan berupa penjualan minuman dan makanan kecil, jasa printing dan scanning. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh tingkat kepadatan warga dan komunitas pelajar/mahasiswa. Semakin dekat warnet dengan pusat keramaian semisal kampus, maka semakin sedikit usaha sampingan yang dilakukan. Semakin jauh warnet dari pusat keramaian, maka warnet tersebut akan semakin banyak melakukan diversifikasi usaha. Lokasi warnet yang berada di dekat kampus akan mendapatkan pelanggan yang realtif lebih banyak dibandingkan dengan warnet yang berada di pusat perbelanjaan atau berada di pinggir jalan protokol. Dengan melakukan pendekatan asumsi, rata-rata aset warnet yang mereka miliki saat ini berkisar Rp 60 juta untuk warnet yang memiliki 15 hingga 20 komputer, hingga Rp 100 juta untuk warnet yang memiliki 20-35 komputer. Aset tersebut sudah termasuk gedung, perabotan dan sebagainya. Jumlah pegawai yang dipekerjakan rata-rata adalah 4 hingga 6 orang. Pendidikan terakhir para pegawai tersebut kebanyakan adalah SMU dan D3, dengan gaji bersih berkisar antara Rp 450 ribu hingga Rp 750 ribu per bulan. Jumlah komputer server yang mereka miliki rata-rata adalah 2 buah, untuk billing dan router. Sedangkan untuk komputer client, 3 responden memiliki 15 buah, 2 responden memiliki 35 buah dan 5 responden memiliki 20 buah. Rata-rata jumlah pelanggan dari para warnet responden tersebut adalah 40 hingga 50 orang per hari untuk yang beroperasi tidak 24 jam, dan 70 hingga 100 orang untuk yang beroperasi 24 jam. Kriteria pelanggan mereka terbanyak adalah dari kalangan mahasiswa dan pelajar. Scanning, printing dan penjualan makanan/minuman adalah usaha sampingan yang secara umum mereka jalankan untuk menopang pemasukan bisnis warnet utamanya. Tarif warnet di Medan berkisar antara Rp 2500 sampai dengan Rp 4500 per jam. Sebagian besar responden mengeluhkan mereka terpaksa harus menekan harga semurah mungkin. Sebagai contoh, warnet yang berada di sekitar kampus Jalan Jamin Ginting – Universitas Sumatera Utara akan kesulitan jika ingin menerapkan biaya sewa lebih dari Rp 3500 untuk menutup biaya operasional mereka. Akibatnya, tidak sedikit warnet yang telah gulung tikar di daerah tersebut Diperkirakan daerah tersebut terdapat 20 warnet yang masih hidup, dan setidaknya 5 warnet telah gulung tikar. Sedangkan untuk daerah Jalan Sisingamangaraja – Universitas Islam Sumatera Utara, jumlah warnetnya masih sedikit sehingga tarif warnet disana lebih tinggi, berkisar antara Rp 3500 – Rp 4500. Menurut para responden, kesepakatan harga sewa antar warnet harus segera dilakukan, karena dikuatirkan dengan harga sewa seperti sekarang ini akan mematikan lebih banyak lagi usaha warnet kecil. Ditambahkan oleh mereka, perilaku para pemilik warnet yang memiliki jaringan kuat biasanya dengan mudah dapat menetapkan harga sewa di bawah standar, yang akhirnya memicu perang harga. Tarif ideal menurut mereka harusnya pada kisaran Rp 5000 hingga Rp 6000 per jam, dengan pertimbangan agar dapat seimbang dengan pengeluaran rutin mereka. Sebenarnya beberapa tahun lalu tarif warnet di Medan sempat mencapai Rp 8000 per jam, tetapi karena persaingan harga yang terlalu jor-joran, akhirnya banyak warnet yang akhirnya gulung tikar dan standar tarif warnet sudah terlanjur sulit untuk diangkat kembali. Meskipun demikian, beberapa responden secara optimis menyatakan bahwa secara perlahan tarif warnet akan dikembalikan ke posisi ideal. Penghasilan bersih perbulan responden rata-rata adalah Rp 2 juta hingga Rp 6 juta, tergantung besar-kecilnya warnet tersebut dan juga dipengaruhi oleh kegiatan warga setempat. Untuk daerah kampus, pada saat libur panjang rata-rata pengunjung warnet turun sampai dengan 50% hingga 60% dari hari normal. Pengeluaran rutin mereka antara lain adalah untuk koneksi Internet (Rp 4.5 juta – 7.5 juta), listrik (Rp 500 ribu – Rp 1 juta), pegawai (Rp 1 juta – Rp 3,5 juta).
Secara umum warnet responden menyatakan keamanan lingkungan warnet mereka relatif cukup aman. Mereka juga tidak menggunakan jasa keamanan khusus untuk menjaga warnet mereka. Meskipun demikian, 2 respoden yang warnetnya berada di tengah kota menyatakan pernah mengalami pencurian aset warnet mereka beberapa tahun silam Pencurian tersebut dari yang sifatnya parsial seperti harddisk, memori dan CPU. Keseluruhan para responden memahami bahwa secara umum warnet kerap digunakan untuk melakukan aktifitas cybercrime (carding, cracking, hacking) dan mengakses pornografi. Khusus untuk cybercrime, tidak banyak aktifitas cybercrime yang mereka tangkap basah ketika sedang dilakukan di warnet mereka. Sedangkan untuk pornografi, seluruh responden menyatakan kerap menemukan bahwa warnetnya digunakan untuk mengases pornografi. 10 responden menyatakan membiarkannya saja, dengan alasan umum yaitu hal tersebut adalah hak dan tanggung-jawab. pelanggan. Secara umum para responden menyatakan tidak mengawasi aktifitas pelanggan warnet mereka dengan alasan hal tersebut akan melanggar privasi pelanggan. Mereka berpendapat, sepanjang mereka membayar sewa warnet, mereka tidak menjadikan pornografi internet menjadi masalah . Dalam studi lapangan ini, tidak sedikit ICT Watch temukan keberadaan warnet yang berada di lantai dua atau terletak di bagian belakang rumah penduduk. Hal ini mengakibatkan aktifitas di dalam warnet tersebut sulit untuk diketahui dari luar. Salah satu jenis warnet tersebut yang menjadi responden penelitian ICT Watch, diindikasikan telah menjadi sarang atau markas dari para pelaku tindak kejahatan kartu kredit via Internet (carder). Warnet tersebut selain remang-remang ketika malam tiba, lokasinya juga tersembunyi dari jalan utama. Untuk instalasi software tambahan oleh pelanggan, 9 responden yang melarangnya. Hanya 1 responden saja yang menyatakan diperbolehkan sepanjang tidak merugikan mereka. Untuk aplikasi firewall, 8 responden menyatakan memasang software tidak memasang firewall di komputer server maupun komputer user. Hanya 2 responden yang memang benar-benar memperhatikan factor keamanan. Sedangkan untuk alat pengaman tambahan, mayoritas responden tidak melakukan pengamanan yang berlebih. Beberapa warnet membuat booth yang semi terbuka, sehingga proteksi khusus tdak diperlukan. Keseluruhan warnet responden menyatakan tidak melakukan metode pengenalan pelanggan bagi para pelanggan yang menyewa akses Internet mereka. Menurut mereka, penitipan KTP dan identitas lainnya akan membuat para pelanggan menjadi tidak nyaman. Mereka juga tidak menyimpan log aktifitas yang dilakukan pelanggan mereka di Internet. Alasan mereka secara umum adalah selain ketidaktersediaan tempat pada harddisk komputer server. Para responden juga tidak peduli dengan berlangsungnya aktifitas kriminal semisal carding, cracking dan hacking di warnet mereka. Yang penting bagi mereka adalah para penyewa Internet membayar biaya sewa sesuai dengan harga yang telah ditetapkan. Dalam studi lapangan ini ICT Watch juga mengunjungi warnet yang diindikasikan sebagai markas dari para carder dalam melakukan aksinya. Warnet tersebut letaknya tersembunyi dan si pemilik sepertinya tutup mata terhadap aktifitas kriminal tersebut. si pemilik warnet sepertinya tidak peduli dengan aktifitas pengguna warnetnya.
Untuk akses Internet, keseluruhan responden menggunakan wireless. 5 responden memiliki bandwidth sebesar 64 Kbps, 3 responden dengan bandwidth 32 Kbps, dan 2 responden dengan bandwidth 16 Kbps. Internet Service Provider (ISP) yang digunakan oleh 5 responden adalah Nusanet, 3 responden memilih Indosat reponden lainnya menggunakan Wasantaranet. Secara umum, para responden cukup puas dengan layanan ISP mereka masing-masing. Untuk sistem operasi komputer server, 8 dari responden menyatakan menggunakan Windows NT. Hanya 2 responden yang mengunakan Linux. Sedangkan sistem operasi komputer client, rata-rata para responden menggunakan Windows 98. Software aplikasi yang mereka instal di komputer client secara umum adalah Microsoft Office, mIRC, Yahoo Messenger, Opera, Acrobat Reader, ICQ dan Winzip. Keseluruhan responden menyatakan belum memiliki lisensi sistem operasi / aplikasi yang terpasang di komputer mereka. Alasan mereka adalah karena tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan software berlisensi tersebut. Mereka saat ini sedang menunggu perkembangan lebih lanjut mengenai penerapan UU Hak Cipta. Sekaligus mencoba mempertimbangkan penggunaan sistem operasi alternatif yang open source. Permintaan dan/atau tuntutan pelanggan merupakan hal yang paling mendasar dalam mempertimbangkan sistem operasi yang akan mereka gunakan. ===== Peneliti: Rapin Mudiardjo, S.H. (ICT Watch researcher – rapin@ictwatch.com)
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai kegiatan usaha warnet di Makassar, ICT Watch mengadakan penelitian lapangan dengan melakukan wawancara terstruktur kepada 10 pengelola warnet. Selain wawancara terstruktur dalam bentuk questionare, penelitian juga dilakukan melalui focus group discussion (FGD) secara terpisah dengan Irwin Day (aktifis Linux dan pemilik warnet) serta Mappasoro Mahmud (pengelola sebuah warnet yang telah berdiri sejak April 1999).
Dari 10 responden warnet yang diwawancara, hanya 4 responden yang memiliki badan hukum, dengan perincian 3 responden berbadan hukum CV dan 1 responden berbadan hukum UD. Namun demikian, secara umum mereka menyatakan bahwa belum mendengar atau tidak ada peraturan lokal maupun nasional yang harus mereka ikuti untuk menjalankan usaha warnet. Kemudian 7 responden menyatakan tidak keberatan apabila warnet diatur oleh peraturan pemerintah, asalkan tidak memberatkan mereka dari sisi finansial serta tidak menerapkan birokrasi yang berbelit-belit. Salah satu hal yang disepakati mereka untuk diatur adalah masalah persaingan usaha, khususnya untuk harga sewa pelanggan warnet. Sedangkan 3 responden yang lain lebih menyerahkan mekanisme persaingan usaha tersebut secara alamiah. Mereka berpendapat kalau memang sekiranya diperlukan mekanisme pengaturan bisnis warnet, maka haruslah diserahkan kepada institusi bentukan mereka sendiri semisal Asosiasi Warnet Makassar. Asosiasi Warnet Makassar sendiri saat ini sedang tidak aktif. Meskipun demikian, antara satu warnet dengan warnet lainnya di Makassar masih terjalin komunikasi yang cukup produktif. Retribusi atau pungutan bulanan yang menjadi kewajiban para responden berkisar antara Rp 10 ribu sampai dengan Rp 50 ribu per bulan, tergantung pada lokasi warnet tersebut. Untuk warnet yang berada di daerah pinggiran kota, jumlah retribusinya akan lebih kecil daripada yang berada di tengah kota. Jenis retribusi tersebut bervariasi, seperti retribusi kebersihan, parkir, sampah dan sebagainya. Selain itu, para respoden menyatakan belum pernah mengalami sweeping/razia dan tidak kuatir dengan masalah tersebut, baik untuk soal penggunaan frekwensi 2,4 GHz maupun penggunaan sistem operasi proprietary. Disampaikan pula bahwa pemerintah daerah Makassar justru mendukung penggunaan frekwensi 2,4 GHz oleh warnet.
Jam operasional 5 dari 10 warnet respoden adalah selama 24 jam, sedangkan responden lainnya secara umum adalah dari pukul 09.00 hingga 24.00. Waktu berdiri warnet cukup beragam, yang terlama adalah pada April 1999 hingga yang terbaru adalah pada Mei 2003. Modal awal 3 responden berkisar antara Rp 30 juta hingga Rp 50 juta, 3 responden berkisar antara Rp 50 juta hingga Rp 75 juta, dan ada 4 responden di Makassar yang memiliki modal setara atau lebih dari US$ 10 ribu, dengan asumsi kurs terendah 1 US$ = Rp 8000. 5 respoden menyatakan sumber modal warnet mereka adalah modal sendiri ataupun bantuan dari orang tua, sedangkan 5 responden menyatakan modal tersebut adalah modal bersama yang berasal dari patungan dengan rekan mereka. Scanning, printing dan penjualan makanan/minuman adalah usaha sampingan yang secara umum mereka jalankan untuk menopang pemasukan bisnis warnet utamanya. Untuk warnet di Makassar yang berada di tengah kota, semisal di Jalan Urip Sumohardjo dan Jalan Ahmad Yani, secara umum akan lebih terpacu untuk melakukan usaha sampingan, dibandingkan dengan warnet yang berada di dekat aktifitas kampus. Hal ini disebabkan dengan karena ketersediaan pelanggan Internet di daerah kampus cenderung lebih banyak daripada di daerah lain. Meskipun demikian ketika sedang masa liburan panjang, jumlah pelanggan warnet di daerah kampus akan turun drastis. Berbeda dengan warnet di daerah perkotaan, yang jika dalam keadaan normal jumlah pelanggannya tidak sebanyak warnet di daerah kampus, tetapi jumlah pelanggannya akan lebih stabil. Beberapa usaha sampingan lainnya yang dilakukan oleh warnet yang berada di tengah kota antara lain adalah usaha warung telepon (wartel). Dengan melakukan pendekatan asumsi, rata-rata aset warnet yang mereka miliki saat ini kurang lebih adalah Rp 40 juta. Jumlah pegawai yang dipekerjakan rata-rata adalah 2 hingga 4 orang. Pendidikan terakhir para pegawai tersebut adalah SMU dan S1, dengan gaji bersih berkisar antara Rp 250 ribu hingga Rp 350 ribu per bulan. Jumlah komputer server yang mereka miliki rata-rata adalah 2 buah, untuk billing dan router. Sedangkan untuk komputer client, 5 responden memilik 8 buah, 3 responden memiliki 10 buah dan 2 responden memiliki 15 buah. Rata-rata jumlah pelanggan dari responden tersebut adalah 40 hingga 50 orang per hari untuk yang beroperasi tidak 24 jam, dan 70 hingga 100 orang per hari untuk yang beroperasi 24 jam. Kriteria pelanggan mereka terbanyak adalah dari kalangan mahasiswa dan pelajar. Bangunan fisik maupun layout warnet yang di daerah sekitar kampus Universitas Hasanuddin secara umum lebih sederhana dan lebih kecil daripada warnet yang berada di tengah kota Makassar. Untuk industri warnet yang berada di dekat kampus, setidaknya ada sekitar 10 hingga 15 warnet yang berdekatan. Bahkan ada 3 warnet yang bersebelahan persis satu dengan yang lainnya, tetapi mereka tetap dapat hidup. Sedangkan untuk industri warnet yang berada di tengah kota, cukup beragam kondisinya. Ada warnet yang mampu bertahan hidup dan ada pula yang mati. Uniknya, ada beberapa responden yang menyatakan bahwa meskipun secara perhitungan warnetnya termasuk merugi, dia akan tetap mempertahankan keberadaan warnet tersebut dengan alasan idealisme. Menurut mereka, mempertahankan warnet tersebut karena dilandasi rasa cinta mereka pada industri berbasis Internet, salah satunya warnet tersebut. Mereka menyatakan bahwa kerugian warnet tersebut dapat ditopang oleh bisnis sampingannya yaitu berjualan makanan/minuman dan bisnis warung telekomunikasi (wartel). Tarif warnet di Makassar berkisar antara Rp 3500 sampai dengan Rp 4000 per jam. Tarif ideal menurut mereka harusnya pada kisaran Rp 5000 hingga Rp 6000 per jam, dengan pertimbangan agar dapat seimbang dengan pengeluaran rutin mereka. Sebenarnya beberapa tahun lalu tarif warnet di Makassar sempat mencapai Rp 8000 per jam, tetapi karena persaingan harga yang terlalu jor-joran, yang dipancing oleh sebuah warnet yang menjatuhkan tarif di tengah kota, akhirnya banyak warnet yang akhirnya gulung tikar, termasuk warnet yang pada pulanya menjatuhkan tarif tersebut. Akibatnya terasa hingga kini, standar tarif warnet sudah terlanjur sulit untuk diangkat kembali. Meskipun demikian, beberapa responden secara optimis menyatakan bahwa secara perlahan tarif warnet akan dikembalikan ke posisi ideal. Penghasilan bersih mayoritas responden rata-rata adalah Rp 2 juta per bulan. Pengeluaran rutin mereka antara lain adalah untuk koneksi Internet (Rp 2 juta – Rp 3 juta), listrik (Rp 500 ribu – Rp 1 juta), pegawai (Rp 800 ribu – Rp 1,8 juta), sewa bangunan berkisar antara (Rp 400 ribu – Rp 1 juta).
Secara umum warnet responden menyatakan keamanan lingkungan warnet mereka relatif cukup aman. Mereka juga tidak menggunakan jasa keamanan khusus untuk menjaga warnet mereka. Meskipun demikian, 3 respoden yang warnetnya berada di tengah kota menyatakan pernah mengalami pencurian aset warnet mereka beberapa tahun silam Pencurian tersebut dari yang sifatnya parsial seperti harddisk, memory dan CPU, hingga pembobolan warnet yang menggasak seperangkat komputer server, lengkap dengan scanner dan printer. Keseluruhan para responden memahami bahwa secara umum warnet kerap digunakan untuk melakukan aktifitas cybercrime (carding, cracking, hacking) dan mengakses pornografi. Khusus untuk cybercrime, tidak banyak aktifitas cybercrime yang mereka tangkap basah sedang dilakukan di warnet mereka. 3 responden menyatakan pernah menangkap basah aktifitas cybercrime tersebut, dan mereka langsung menegurnya. Bagi warnet yang berada di dekat kampus, secara umum mereka menyatakan percaya kepada para pelanggan mereka yang mayoritas adalah mahasiswa. Sedangkan untuk pornografi, seluruh responden menyatakan kerap menemukan bahwa warnetnya digunakan untuk mengases pornografi. 6 responden menyatakan membiarkannya saja, dengan alasan umum yaitu hal tersebut adalah hak dan tanggung-jawab pelanggan. Sedangkan 4 responden menyatakan akan menegur apabila yang menggunakan adalah mereka yang masih berstatus pelajar dan/atau aktifitas Internet mereka menyedot bandwidth warnet yang cukup besar. Meskipun demikian, secara umum para responden menyatakan tidak mengawasi aktifitas pelanggan warnet mereka dengan alasan hal tersebut dapat melanggar privasi pelanggan. Untuk instalasi software tambahan oleh pelanggan, hanya 2 responden saja yang melarangnya. Sedangkan 8 responden menyatakan tidak ada larangan sama sekali, karena mereka telah memasang sistem back-up yang dapat mengembalikan kondisi komputer client seperti semula saat di-restart. Untuk aplikasi firewall, secara umum responden menyatakan memasang software firewall di komputer server. Sedangkan untuk alat pengaman tambahan, mayoritas responden tidak melakukan pengamanan yang berlebihan. 2 respoden menyatakan percaya kepada pelanggan mereka karena mayoritas adalah mahasiswa, 7 responden menyatakan bahwa casing diletakkan sedemikian rupa sehingga mudah diperhatikan oleh penjaga warnet dan selain itu mereka juga menggunakan bilik ½ terbuka ataupun terbuka sama sekali. Sedangkan 1 responden lainnya, yang notabene menggunakan model bilik tertutup, mengharuskan para pelanggannya untuk menitipkan tasnya terlebih dahulu. Keseluruhan warnet responden menyatakan tidak melakukan metode pengenalan pelanggan bagi para pelanggan yang menyewa akses Internet mereka. Mereka juga tidak menyimpan log aktifitas yang dilakukan pelanggan mereka di Internet.
Untuk akses Internet, keseluruhan responden menggunakan wireless. 5 responden memiliki bandwidth sebesar 64 Kbps, 3 responden dengan bandwidth 32 Kbps, dan 2 responden dengan bandwidth 16 Kbps. Internet Service Provider (ISP) yang digunakan oleh 8 responden adalah Internux, dan 2 responden memilih Indosat. Secara umum, para responden cukup puas dengan layanan ISP mereka masing-masing. Untuk sistem operasi komputer server, 9 responden menyatakan menggunakan Linux dengan distro Suse dan 1 responden menggunakan Windows 2000 Server. Dipilihnya Linux oleh kebanyakan responden ini ada kaitannya dengan ISP yang digunakan, yaitu Internux. ISP Internux memang menjadi pilihan mayoritas warnet di Makassar. Sedangkan pemilik dan pengelola ISP Internux adalah juga penggiat aktifitas Linux di daerah Makassar. Maka tidak heran apabila kebanyakan warnet di Makassar akan menggunakan Linux sebagai sistem operasi komputer server mereka. Sedangkan sistem operasi komputer client, mereka menggunakan Windows 98. Software aplikasi yang mereka instal di komputer client secara umum adalah Microsoft Office, mIRC, Yahoo Messenger, Opera, Acrobat Reader, ICQ dan Winzip. Keseluruhan warnet responden menyatakan belum memiliki lisensi atas sistem operasi maupun software aplikasi yang terpasang di komputer client. Alasan mereka adalah karena tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan software berlisensi tersebut. Mereka saat ini sedang menunggu perkembangan lebih lanjut, sekaligus mencoba mempertimbangkan penggunaan sistem operasi alternatif yang open source. Permintaan dan/atau tuntutan pelanggan merupakan hal yang paling mendasar dalam mempertimbangkan sistem operasi yang akan mereka gunakan. Salah satu responden menyatakan bahwa saat warnetnya pertama kali didirikan, dia memasang Linux untuk keseluruhan komputer client. Tetapi karena banyak warnet lain yang menggunakan Microsoft Windows, dan karena mayoritas pelanggan meminta Microsoft Windows, maka dengan terpaksa dia mengganti Linux tersebut dengan Microsoft Windows. Meskipun demikian ada 2 responden yang telah menyiapkan sistem dual-boot untuk komputer client mereka. Ada pula 1 responden yang mencoba untuk mentaati UU Hak Cipta dengan menginstal Windows 98, dan menggunakan kode lisensi yang berasal dari komputer kantor bekas yang sudah tidak terpakai lagi. Asumsinya adalah lisensi tersebut tetap berlaku untuk dipakai di komputer client warnet. Responden tersebut ternyata belum mengetahui bahwa End User Level Agreement (EULA) yang ditetapkan oleh Microsoft untuk produk Windows 98 adalah tidak untuk disewakan. ===== Peneliti: Donny B.U., S.T., M.Si. (ICT Watch researcher – donnybu@ictwatch.com)
Dari 10 responden warnet yang diwawancara, hanya 5 yang memiliki badan hukum. Perinciannya adalah 4 responden berbadan hukum CV dan 1 responden berbadan hukum PT. ICT Watch menemukan bahwa warnet-warnet yang berada di lingkungan yang sangat dekat dengan kampus perguruan tinggi, yakni 5 dari 10 responden tidak berbadan hukum. Warnet-warnet di lingkungan kampus lebih merupakan usaha perorangan ataupun beberapa orang dengan modal bersama. Namun berbeda dengan warnet yang tidak berada di dekat lingkungan kampus, sebanyak 4 dari 10 responden memilih bentuk usaha berupa CV, dan hanya 1 warnet yang berbentuk PT. Karakteristik pemilihan bentuk usaha ini juga dipengaruhi oleh besar-kecilnya warnet. Warnet besar, misalnya dengan jumlah komputer client mencapai 35 - 40 buah, cenderung memilih bentuk usaha PT, sedangkan warnet dengan komputer client 20 hingga 25 buah lebih suka memilih bentuk usaha berupa CV. Selain itu, sebagaimana korporasi lainnya, bentuk usaha ini ternyata juga mempengaruhi manajemen warnet. Warnet yang memiliki bentuk usaha CV ataupun PT menunjukkan adanya jenjang manajerial, seperti manajer, supervisor, operator, admin warnet, dan sebagainya. Jenjang manajerial ini tidaklah ditunjukkan oleh warnet yang merupakan usaha perorangan karena umumnya hanya berupa admin atau operator warnet saja. Karakteristik badan usaha dan manejemen ini juga berpengaruh pada perizinan yang dimiliki oleh warnet-warnet di Bandung. Warnet yang berada di lingkungan kampus kebanyakan tanpa badan usaha dan juga tidak memiliki perizinan sama sekali bagi usaha yang dilakukannya, baik itu berupa Ijin Gangguan (Hinder Ordonentie - HO) maupun Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Umumnya warnet-warnet jenis ini hanya melakukan pemberitahuan ke RT/RW setempat. Sedangkan untuk warnet yang memiliki badan usaha berupa CV atau PT, 3 dari 5 responden menyatakan memilik izin, minimal berupa HO, sedangkan 2 responden lainnya sedang mengurus perizinan. Bahkan 1 responden, sebuah warnet yang cukup besar yang memiliki sejumlah cabang di Bandung, memiliki secara lengkap SIUP, Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) serta menyatakan dirinya taat membayar pajak perusahaan. Seluruh responden yang memiki izin mengeluhkan proses perizinan yang sangat birokratis dan berbelit, disamping besarnya biaya tidak resmi yang harus mereka keluarkan. Masalah perizinan ini ternyata juga dipengaruhi sikap aparatur pemerintah daerah (pemda) setempat. Warnet sekitar kampus yang pada umumnya tidak memiliki perizinan dan bentuk badan usaha tertentu, mengaku tidak pernah memperoleh kesulitan dalam menjalankan usahanya. Aparat pemda sepertinya bersikap cukup permisif pada warnet-warnet yang berada di lingkungan kampus, yang umumnya merupakan warnet kecil. Lain halnya dengan warnet yang cukup besar dan berada di luar lingkungan kampus. Selain harus membayar retribusi kepada Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) setempat, kadangkala mereka juga didatangi oknum aparat yang menanyakan perizinan, pajak reklame atas papan nama warnet, atau sekedar meminta “uang keamanan”. Meskipun hanya 5 dari 10 responden yang memiliki perizinan, warnet yang tidak memiliki perizinan mengaku ingin mengurus perizinan dan memiliki bentuk badan usaha berupa CV. Jelas bahwa dari kalangan warnet yang tidak memiliki perizinan ini adanya suatu resistensi atas ide untuk melakukan regulasi industri warnet. Hanya 4 dari 10 responden yang setuju adanya peraturan pemerintah ataupun regulasi industri warnet, itupun dengan catatan bahwa regulasi yang ada tidak boleh membebani keuangan warnet, tidak menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) ataupun jenis retribusi lainnya. Responden yang menyetujui perlu adanya regulasi ini beralasan karena mereka menginginkan adanya kepastian hukum bagi bisnis yang dijalankannya, termasuk masalah persaingan usaha antar pelaku usaha warnet. Sedangkan 6 responden warnet yang tidak menyetujui adanya regulasi warnet, berpendapat bahwa jika ada regulasi pada tingkatan nasional maupun peraturan daerah tentang warnet, dikhawatirkan justru akan menimbulkan beban bagi mereka, baik dikarenakan tambahan pungutan biaya berupa retribusi, masalah perizinan dan birokrasi yang berbelit-belit dan akhirnya tentu menghabiskan biaya tersendiri. Berkenaan dengan retribusi, hanya 4 responden yang menyatakan membayar biaya retribusi K3 kepada pengurus RT/RW setempat yang besarnya berkisar antara Rp 5000 – Rp 20.000 per bulan. Sedangkan untuk retribusi lainnya tidak ada. Namun, ada satu warnet yang cukup besar yang menyatakan adanya oknum aparat kepolisian yang mengutip sebesar Rp 100 ribu per bulan sebagai “uang keamanan”. Saat berusaha menunggak, oknum aparat ini mengancam akan menyita komputer di warnetnya dengan alasan yang tidak jelas. 3 responden menyatakan memang sesekali pernah mengalami semacam sweeping/razia, baik yang berkaitan dengan penggunaan 2,4 Ghz maupun perpajakan. Ketika petugas tersebut dimintakan surat tugas, mereka tidak bisa menunjukkan dan petugas tersebut langsung pergi begitu saja. 2. Model Bisnis dan Aktifitas Usaha Jam operasional 7 dari 10 responden adalah selama 24 jam, sedangkan 3 responden lainnya beroperasi dari jam 09.00 hingga 24.00. Pemilihan lokasi warnet sangat erat kaitannya dengan target pasar. Sebagian besar warnet membuka usahanya di lokasi yang dekat dengan kampus perguruan tinggi atau dekat dengan pemukiman mahasiswa. Kondisi ini memunculkan persaingan yang cukup ketat, khususnya di daerah yang sangat padat mahasiswa seperti di Jalan Dipati Ukur. Di jalan tersebut terdapat lebih dari 10 warnet, belum termasuk warnet-warnet yang berada di sekitar wilayah tersebut. Waktu berdiri warnet cukup beragam, yang terlama adalah pada pertengahan 1998 hingga yang terkini adalah pada Juli 2002. Secara umum warnet di Bandung merupakan Usaha Kecil Menengah (UKM). Sejumlah 9 dari 10 responden menyatakan modal awal merupakan milik sendiri ataupun merupakan modal patungan. Hanya 1 dari 10 warnet yang mengaku pernah mendapat tambahan modal dari kredit perbankan, sedangkan lainnya mengaku tambahan modal yang diperlukan berasal dari kocek sendiri. Warnet yang memperoleh pinjaman perbankan ini sepertinya memiliki model bisnis yang relatif lebih baik dibandingkan dengan warnet lainnya. Diawali dengan 5 komputer sebagai komputer client, warnet yang berdiri sejak tahun 1999 ini telah mencapai pemasukan kotor sekitar Rp 30 juta per bulan, dengan jumlah komputer client sebanyak 38 buah Modal awal 7 dari 10 responden berkisar antara Rp 70 juta – Rp 150 juta. Sedangkan 3 responden lainnya memiliki modal awal antara Rp 30 juta hingga Rp 50 juta. Jika dirata-rata secara umum, ada 7 responden di Bandung yang memiliki modal setara atau lebih dari US$ 10 ribu, dengan asumsi kurs terendah 1 US$ = Rp 8000. Sebanyak 9 respoden menyatakan sumber modal warnet mereka adalah modal bersama teman, dan hanya 1 responden menyatakan modal tersebut adalah modal sendiri. Hal yang menarik pada soal permodalan ini adalah tentang kaitan antara bantuan sektor perbankan dengan bentuk badan usaha warnet. Ada satu warnet yang baru saja berbentuk CV karena alasan pihaknya ingin mendapatkan tambahan modal berupa kredit perbankan. Selain berbentuk badan hukum tertentu, bank juga ternyata mensyaratkan adanya NPWP dan tanda bukti pembayaran pajak bagi pemberian kredit. Menurut salah seorang responden yang juga seorang manajer warnet, modal berupa kredit perbankan menjadi penting bagi ekpansi bisnis yang dilakukan oleh warnetnya, misalnya saja untuk membuka cabang baru. Ia menyayangkan kredit baru bisa diberikan jika warnet berbentuk badan usaha (minimal) CV, memiliki NPWP dan telah satu tahun beroperasi. Modal awal pendirian warnet umumnya dialokasikan sebagian besar untuk kepentingan perangkat keras seperti komputer client, server, scanner, dan perangkat koneksi internet. Sedangkan untuk booth, tidaklah terlalu menghabiskan dana besar, khususnya bagi warnet yang berada di lingkungan kampus yang semuanya menggunakan booth sederhana. Berbeda dengan warnet yang tidak berada di dekat lingkungan kampus, mereka menyewa ruko dan pada umumnya memiliki booth semi mewah. Sehingga alokasi dana lebih besar untuk sewa tempat dan keperluan interior booth. Scanning, printing dan penjualan makanan/minuman adalah usaha sampingan yang secara umum mereka jalankan untuk menopang pemasukan bisnis warnet utamanya. Dengan melakukan pendekatan asumsi, 8 warnet menyatakan rata-rata aset warnet yang mereka miliki saat ini kurang lebih berkisar antara Rp 20 juta – Rp 40 juta, sedangkan 2 lainnya memiliki aset Rp 120 juta. Jumlah pegawai yang dipekerjakan rata-rata adalah 3 hingga 5 orang. Hanya satu responden yang memiliki pegawai hingga 16 orang. Hal ini dikarenakan warnet tersebut juga memberikan layanan pelatihan O/S dan aplikasi perkantoran seperti word processor dan aplikasi keuangan. Pendidikan terakhir para pegawai tersebut adalah SMU dan D3 dengan gaji bersih berkisar antara Rp 250 ribu hingga Rp 350 ribu per bulan. Jumlah komputer server yang mereka miliki adalah 1 hingga 2 buah, untuk billing dan router. Sedangkan untuk komputer client, 8 responden memiliki 11 hingga 20 buah, 1 responden memiliki 23 buah dan 1 responden memiliki 38 buah. Rata-rata jumlah pelanggan dari para responden tersebut adalah 40 hingga 50 orang per hari untuk yang beroperasi tidak 24 jam, kecuali tentunya untuk warnet yang memiliki komputer client 38 buah dimana rata-rata pelanggannya mencapai 170 per hari dan satu responden dengan jumlah komputer client mencapai 23 buah menyatakan bahwa pelanggan mereka lebih dari 125 orang per hari. Kriteria pelanggan mereka terbanyak adalah dari kalangan mahasiswa dan pelajar. Berkenaan dengan profil pelanggan ini, seluruh responden menyatakan mahasiswa merupakan pengguna terbesar warnet di Bandung. Seringkali warnet yang berada di sekitar kampus atau pemukiman mahasiswa memiliki pelanggan tetap, khususnya penggunaan pada menjelang tengah malam hingga pagi hari. Warnet yang berada agak jauh dari kampus atau pemukiman mahasiswa, namun dekat dengan wilayah sekolah menengah, cenderung mengalihkan fokus usahanya menjadi game center, guna menghindari resiko tutupnya usaha mereka lantaran minimnya pengunjung. Pengguna terbesar kedua adalah kalangan pelajar, khususnya pelajar SMU baru disusul pelanggan umum. Tarif warnet yang ditawarkan warnet di Bandung umumnya berkisar antara Rp 3000 hingga Rp 4500 per jam, tergantung pada fasilitas yang ditawarkan. Seluruh responden menerapkan konsep zona waktu pentarifan, untuk jam-jam sibuk tarif akan lebih mahal dibandingkan waktu lainnya. Selain itu, seluruh warnet yang beroperasi 24 menggunakan tarif “super murah” untuk penggunaan Internet antara jam 23.00 hingga 06.00, dengan tarif Rp 1500 hingga Rp 2000 per jam. Ada pula yang menggunakan skema “paket”, yaitu sekitar Rp 10 ribu untuk pemakaian sepuasnya dari jam 22.00 hingga 07.00. Paket inilah yang kerap dipergunakan oleh pelanggan tetap sebuah warnet yang beroperasi 24 jam. Dari 10 warnet responden, 4 responden menyatakan bahwa tarif yang sekarang bukanlah tarif ideal bagi bisnisnya. Alasan utama adalah karena beban operasional yang cenderung selalu naik, seperti biaya listrik, sewa tempat, pemeliharaan perangkat maupun beban biaya berupa pungli. Keempat responden ini menilai bahwa tarif yang idel bagi warnet adalah Rp 4500 hingga Rp 6.000 per jam, tergantung pada fasilitas yang diperoleh pengguna. Perlu dicatat bahwa warnet yang menganggap tarifnya sudah memadai/ideal merupakan warnet yang relatif kecil dengan jumlah komputer client 10 buah hingga 15 buah. Rata-rata jumlah pelanggan warnet responden mencapai 5 hingga 6 kali jumlah komputer client yang dimiliki. Nilai ini cenderung turun jika jumlah komputer client warnet meningkat jumlahnya, sehingga jumlah pelanggan warnet hanya mencapai 4 kali jumlah komputer client warnet tersebut. Untuk itulah maka penghasilan bersih per bulan warnet responden di Bandung cukup bervariatif. Delapan responden memiliki pemasukan antara Rp 5 juta hingga Rp 10 juta. Sedangkan 2 responden, yang merupakan warnet besar dan/atau memiliki jaringan warnet, berpenghasilan bersih di atas Rp 10 juta. Pengeluaran rutin mereka antara lain adalah untuk koneksi Internet, dengan perincian 8 responden mengeluarkan biaya sekitar Rp 3,5 juta hingga Rp 4,5 juta, dan 2 responden mengeluarkan biaya sekitar Rp 6 juta hingga Rp 8 juta. Komponen biaya lainnya berupa listrik, yang secara umum para responden mengeluarkan biaya sekitar Rp 500 ribu - Rp 2 juta, untuk gaji pegawai sekitar Rp 800 ribu hingga Rp 7 juta dan sewa bangunan sekitar Rp 400 ribu hingga Rp 2 juta. Ada 1 responden yang membayar Rp 5 juta untuk biaya sewa tempat karena menempati ruko yang luas.
Secara umum warnet responden menyatakan lingkungan warnet mereka relatif cukup aman. Secara umum warnet di Bandung tidak menggunakan jasa keamanan khusus untuk menjaga warnet mereka, kecuali satu warnet responden yang secara khusus menggunakan jasa Satpam. Sebanyak 5 respoden yang warnetnya berada di tengah kota menyatakan pernah mengalami pencurian aset warnet mereka beberapa tahun silam Pencurian tersebut dari yang sifatnya parsial seperti harddisk, memory dan CPU, hingga pembobolan warnet yang menggasak seperangkat komputer server, lengkap dengan scanner dan printernya. Satu warnet di Jalan Dipati Ukur bahkan menyatakan pernah mengalami perampokan dengan kerugian 6 komputer client. Secara umum para responden memahami bahwa secara umum warnet kerap digunakan untuk melakukan aktifitas cybercrime (carding, cracking, hacking, dsb) dan mengakses pornografi. Khusus untuk cybercrime, tidak banyak aktifitas cybercrime yang mereka tangkap basah sedang dilakukan di warnet mereka. Sedangkan untuk pornografi, seluruh responden menyatakan kerap menemukan bahwa warnetnya digunakan untuk mengases pornografi. Sebanyak 5 responden menyatakan membiarkannya saja, dengan alasan umum yaitu hal tersebut adalah hak dan tanggung-jawab pelanggan. Sedangkan 1 responden menyatakan akan menegur apabila yang menggunakan adalah mereka yang masih berstatus pelajar. Sedangkan 4 responden lainnya menyatakan memblok akses pornografi dengan menggunakan software filter. Hal yang menarik di Bandung adalah kelompok carder yang cenderung membentuk suatu kelompok tertentu di sebuah warnet, dan mereka juga sering berpindah-pindah warnet. Seorang responden menceritakan bahwa warnetnya pernah dijadikan tempat “mangkal” setidaknya 3 kelompok carder. Setelah bekerjasama dengan aparat kepolisian, pihaknya dapat “mengusir” kelompok carder tersebut. Pengawasan atas kegiatan pelanggan merupakan buah simalakama bagi pelaku usaha warnet. Sebanyak 3 dari 10 responden menyatakan walaupun pihaknya telah menggunakan pengawasan berupa pemasangan remote admin atau spyware, mereka mengakui bahwa sebenarnya usaha ini sia-sia belaka untuk menghalau kelompok carder. Alasannya seringkali kemampuan teknis kelompok carder ini jauh lebih baik dari kemampuan teknis yang dimiliki oleh admin warnet, sehingga remote admin atau spyware yang diinstal di komputer client dapat dengan mudah dinon-aktifkan oleh kelompok carder. Untuk instalasi software tambahan oleh pelanggan, hanya 3 responden saja yang tidak melarang karena mereka menggunakan software yang dapat mengembalikan konfigurasi seperti sediakala. Sedangkan 7 responden menyatakan melarang, karena mereka mengkhawatirkan perubahan konfigurasi sistem dan mengurangi kapasitas harddisk. Untuk aplikasi firewall, secara umum responden menyatakan memasang software firewall di komputer server. Sedangkan untuk alat pengaman tambahan, mayoritas responden tidak melakukan pengamanan yang berlebih. Satu respoden menyatakan percaya kepada pelanggan mereka karena mayoritas adalah mahasiswa, dua responden menyatakan bahwa casing diletakkan sedemikian rupa sehingga mudah diperhatikan oleh penjaga warnet, dan 7 responden lainnya menggunakan pelindung berupa kotak kayu bergembok untuk menyimpan CPU. Keseluruhan warnet responden menyatakan tidak melakukan metode pengenalan pelanggan bagi para pelanggan yang menyewa akses Internet mereka. Hanya dua responden yang menyimpang log, sedangkan 8 responden lainnya tidak melakukan penyimpanan log dengan alasan merepotkan, mengurangi kapasitas harddiks, privacy pelanggan dan menganggap tidak ada gunanya untuk menyimpang log
Untuk akses Internet, keseluruhan responden menggunakan koneksi wirelesss 2,4 GHz. Internet Service Provider (ISP) yang digunakan oleh 5 responden adalah Terasnet, sedangkan responden lainnya menggunakan Indosat, Indonet, C2Pro, Teras.Net dan Jalawave. Secara umum, para responden cukup puas dengan layanan ISP mereka masing-masing. Untuk sistem operasi komputer server, para responden menyatakan menggunakan Linux dengan distro Slackware. Sedangkan sistem operasi komputer client, mereka menggunakan Windows 98. Software aplikasi yang mereka instal di komputer client secara umum adalah Microsoft Office, mIRC, Yahoo Messenger, Opera, Acrobat Reader, ICQ dan Winzip. Keseluruhan warnet responden menyatakan belum memiliki lisensi sistem operasi / aplikasi yang terpasang di komputer client. Alasan mereka adalah karena tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan software berlisensi tersebut. Mereka saat ini sedang menunggu perkembangan lebih lanjut, sekaligus mencoba mempertimbangkan penggunaan sistem operasi alternatif yang open source. Satu responden warnet menyatakan pihaknya sudah siap melakukan migrasi ke Linux. Saat ini pihaknya sedang memikirkan strategi untuk mengedukasi pelanggan yang belum pernah/terbiasa menggunakan Linux. Permintaan dan/atau tuntutan pelanggan merupakan hal yang paling mendasar dalam mempertimbangkan sistem operasi yang akan mereka gunakan. ===== Peneliti: Mukhlis Ifransah, S.H. (ICT Watch researcher – mukhlis@ictwatch.com)
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai kegiatan usaha warnet daerah kota penyangga Jakarta (suburban), ICT Watch mengadakan penelitian lapangan dengan melakukan wawancara terstruktur kepada 10 pengelola warnet yang terbagi di kota Bekasi, Tangerang dan Depok. Jika ditinjau dari skala usaha dan teknologi yang digunakan, karakteristik warnet di tiap daerah tersebut sangat beragam. Meskipun secara umum pelanggannya masih dari dari kalangan mahasiswa, namun warnet tidak selalu terkonsentrasi di daerah-daerah pendidikan/kampus. Seperti misalnya di daerah Tangerang ataupun Bekasi yang memang tidak terlalu banyak memiliki perguruan tinggi, umumnya warnet memilih lokasi di daerah pemukiman. Warnet-warnet yang berada di lokasi pemukiman tersebut umumnya termasuk warnet berskala kecil, hanya memiliki 5 hingga 8 buah komputer client, sangat berbeda dengan warnet di wilayah Depok yang umumnya memiliki komputer client hingga diatas 10 buah.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa 7 dari 10 responden tidak memiliki badan hukum. Sedangkan responden lainnya, 1 responden berbadan hukum Yayasan, 1 responden berbadan hukum PT dan 1 responden lagi berbadan hukum CV. Bagi responden yang tidak berbadan hukum, alasan mereka terutama karena menganggap usaha warnet merupakan usaha kecil yang tidak memerlukan badan hukum ataupun peraturan tersendiri untuk beroperasi. Selanjutnya, 9 dari 10 responden mengaku tidak mengetahui peraturan yang harus dipenuhi untuk menjalankan usahanya. Umumnya mereka enggan mengurus perijinan dengan alasan birokrasinya sulit dan memerlukan biaya besar. Namun pengelola warnet mengaku tidak menemui kesulitan menjalankan usahanya meskipun tidak memiliki ijin usaha. Berkaitan dengan segi perijinan, 5 responden menyatakan tidak keberatan adanya regulasi warnet melalui peraturan pemerintah, salah satu hal yang disepakati mereka untuk diatur adalah masalah persaingan usaha. Sedangkan 5 responden yang lain lebih menyerahkan mekanisme usaha tersebut secara alamiah. Berkenaan dengan retribusi, umumnya responden mengaku membayar beragam retribusi dengan jumlah bervariasi antara Rp 10 ribu hingga Rp 40 ribu per bulan. Pungutan tersebut biasanya berupa uang kebersihan dan uang keamanan yang disepakati warga. 9 dari 10 responden menyatakan tidak pernah mengalami sweeping/razia sedang 1 responden lain menyatakan tidak tahu.
Jam operasional warnet di Jakarta suburban umumnya hanya mulai sekitar pukul 08.00 hingga sekitar pukul 22.00, atau menunggu pelanggan terakhir. Hal ini dikarenakan banyak responden membuka usahanya di sekitar kawasan perumahan, sehingga tidak akan ada pelanggan yang datang selama 24 jam seperti di sekitar kampus. Hanya 2 responden yang mengaku membuka warnetnya selama 24 jam penuh, dan mereka berada di sekitar kampus. Waktu berdiri warnet yang dikelola reponden sangat beragam, yang terlama pada Desember 1999 dan yang terbaru pada bulan Februari 2003. Usaha warnet di Jakarta umumnya tergolong usaha kecil dan menengah. Dari hasil penelitian didapat informasi bahwa 5 responden memiliki modal awal berkisar dari Rp 20 juta hingga Rp 40 juta. Sedangkan 5 responden lainnya memiliki modal awal di atas Rp 70 juta, yang pada umumnya berlokasi di wilayah Depok sebagai sentra aktifitas kampus. Jika dirata-rata secara umum, ada 5 responden di Jakarta suburban yang memiliki modal setara atau lebih dari US$ 10 ribu, dengan asumsi kurs terendah 1 US$ = Rp 8000. Sumber modal 4 responden didapat dari uang sendiri sedang 5 responden lain mengaku modalnya berasal dari usaha bersama / patungan. Kemudian, 6 responden mengaku tidak pernah melakukan penambahan modal, sedangkan 3 responden menambah modalnya baik menggunakan uang pribadi maupun dengan uang bersama-sama. Untuk menyiasati pendapatan yang kurang memadai umumnya warnet menyediakan berbagai usaha sampingan, meliputi jasa pengetikan, scanning gambar, printing, hingga perbaikan hardware untuk mendapatkan tambahan pendapatan. Dengan melakukan pendekatan asumsi, 8 responden menyatakan rata-rata aset warnet yang mereka miliki saat ini kurang lebih berkisar antara Rp 30 juta hingga Rp 50 juta, sedangkan 2 responden lainnya memiliki aset sekitar Rp 80 hingga Rp 100 juta. Jumlah pegawai yang dipekerjakan warnet sangat bervariasi, umumnya 1 hingga 4 pegawai. Hanya 1 responden, yaitu sebuah warnet yang cukup besar di Depok, yang mempekerjakan 8 pegawai Pendidikan terakhir pegawai warnet umumnya SMU hingga D3 dengan gaji bersih sebesar Rp 400 ribu hingga Rp 500 ribu sebulan. Meskipun demikian ada 1 responden yang menggaji pegawainya sekitar Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta per bulan. Jumlah komputer server yang dimiliki warnet rata-rata 1 hingga 2 buah, umumnya untuk kepentingan billing dan router. Sedangkan untuk komputer client, 8 responden memiliki 6 hingga 10 buah, dan 2 responden memiliki lebih dari 20 buah. Pelanggan dalam sehari sangat dipengaruhi lokasi warnet. Untuk warnet yang membuka usaha di daerah kampus jumlah pelanggan bisa berkisar 90 hingga 100 orang per hari. Sedangkan warnet yang membuka usahanya di sekitar wilayah permukiman umumnya hanya mendapat 15 hingga 30 orang per hari. Segmen pasar nampaknya menjadi pertimbangan utama dalam memilih lokasi untuk membuka usaha warnet di Jakarta. Seluruh responden memperkirakan kriteria pelanggan terbanyak mereka adalah dari kalangan mahasiswa dan pelajar sedangkan reponden lainnya adalah kalangan pegawai/umum. Inilah yang menjadi alasan mengapa umumnya warnet membuka usaha disekitar kampus ataupun tempat tinggal mahasiswa, jika kebetulan tempat tinggal mereka berdekatan dengan lokasi-lokasi tersebut. Meskipun terkesan sangat terkonsentrasi di lokasi-lokasi tertentu, para pengelola warnet tersebut umumnya tidak merasa khawatir kekurangan pelanggan. Hal ini wajar mengingat jumlah mahasiswa dan pelajar di Jakarta memang tergolong sangat besar, sehingga pengelola warnet tidak segan-segan untuk membuka usaha berdampingan dengan beberapa pesaing sekaligus. Tarif warnet yang ditawarkan oleh responden di wilayah Tangerang dan Bekasi pada umumnya berkisar Rp 5000 per jam hingga Rp 6000 per jam. Sedangkan responden di wilayah Depok mengenakan tarif Rp 4000 per jam untuk pelanggannya, disesuaikan dengan tingkat kemampuan mahasiswa sebagai segmen pelanggan terbesar mereka dan tingkat persaingan yang cukup ketat. Umumnya responden mengungkapkan bahwa tarif ideal bagi warnet berkisar pada harga Rp 6000 per jam. Penghasilan bersih warnet responden rata-rata adalah Rp 500 ribu hingga Rp 2 juta per bulan untuk warnet yang berada di daerah pemukiman (Tangerang dan Bekasi), sedangkan responden yang membuka usaha disekitar kampus (Depok) mengaku pendapatan bersihnya berkisar antara Rp 5 juta hingga Rp 12 juta per bulan, tergantung pada jumlah komputer. Umumnya warnet-warnet yang berlokasi di sekitar pemukiman memang pendapatannya jauh lebih kecil dibandingkan warnet yang berlokasi di sekitar kampus, karena memang pelanggan di sekitar kampus tersedia cukup banyak. Pengeluaran rutin mereka antara lain adalah untuk koneksi Internet, rata-rata sebesar Rp. 1,5 juta hingga Rp 2,5 juta bagi warnet yang menggunakan teknologi dial-up. Sedangkan untuk daerah Depok, khususnya di sekitar Jalan Margonda Raya, warnet banyak yang menggunakan fasilitas ADSL. Biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 4 juta per bulan dengan bandwidth 512 kbps. Meskipun demikian, ada pula warnet di Depok yang berbagi bandwidth, sehingga biaya Internetnya turut dibagi pula. Konsumsi listrik menghabiskan biaya listrik sebesar Rp 900 ribu hingga Rp 1,5 juta per bulan. Untuk gaji pegawai per bulan, umumnya pemilik warnet menggaji pegawainya sekitar Rp 400 ribu hingga Rp 600 ribu per bulan.
Dari 10 responden, 8 diantaranya menyatakan bahwa kondisi keamanan lingkungan di sekitar warnetnya relatif kondusif. Sedangkan 2 responden menyatakan lingkungannya tidak aman, karena pernah mengalami perampokan aset warnetnya dalam jumlah besar. Pada umumnya pengelola warnet tidak menyewa tenaga pengamanan khusus untuk menjaga keamanan warnet. Pengelola warnet umumnya lebih mengandalkan pada sistem ronda oleh warga setempat untuk menjaga keamanan, sehingga dapat mengurangi biaya keamanan. Mengenai pencurian oleh pelanggan, sebanyak 6 dari 10 responden menyatakan pernah terjadi pencurian aset warnet kecil-kecilan, terutama pencurian terhadap komponen komputer client semisal harddisk ataupun memory. Selain itu, mouse dan headphone juga menjadi target pencurian karena ukurannya yang kecil dan mudah untuk dilepas. Dari 4 responden yang menyatakan tidak pernah mengalami pencurian, 3 diantaranya teletak di wilayah pemukiman dan hanya memiliki sedikit komputer client. Berkaitan dengan aktifitas cybercrime, 5 responden memahami bahwa secara umum warnet kerap digunakan untuk melakukan aktifitas carding, cracking, ataupun hacking. Sedangkan sebanyak 5 responden menyatakan tidak mengetahuinya. Selain itu, 2 responden ternyata mengetahui bahwa warnet yang mereka kelola sering digunakan sebagai tempat untuk melakukan aksi cybercrime. Responden tersebut membiarkan aktifitas para pelaku carding tersebut, karena beranggapan apa yang dilakukan pelanggan bukanlah tanggung jawab pemilik warnet. Dalam hal penggunaan warnet untuk mengakses pornografi, seluruh responden menyatakan mengetahui bahwa warnet memang seringkali digunakan pengakses untuk membuka situs-situs yang berisikan materi porno. Namun hanya 8 responden yang menyatakan mengetahui warnetnya digunakan sebagai sarana mengakses pornografi, dan umumnya menyatakan membiarkan kegiatan pelanggannya, dengan alasan hal tersebut adalah hak dan tanggung-jawab pelanggan. Untuk mengamankan
kinerja komputer client yang mereka miliki, umumnya warnet Sedangkan untuk sisi keamanan jaringan, sebanyak 6 dari 10 responden menyatakan mereka memasang aplikasi firewall server ataupun client untuk mencegah masuknya aplikasi-aplikasi yang dapat membahayakan komputer client ataupun kerahasiaan pelanggan. Hanya 4 responden yang menyatakan tidak memasang teknologi firewall. Tidak banyak responden yang menerapkan metoda pengenalan pelanggan. Hanya 1 responden yang melakukan pencatatan terhadap identitas pelanggan melalui kartu keanggotaan dan 2 responden lain sekedar melakukan pengenalan secara “pertemanan” pada pelanggannya yang memang terbatas. Sebanyak 7 responden lainnya mengaku tidak melakukan pencatatan identitas pelanggan dengan alasan merepotkan. Hal lain yang perlu diperhatikan berkenaan dengan sisi keamanan adalah bahwa 9 dari 10 responden menyatakan tidak menyimpan log aktifitas pelanggan, terutama dengan alasan menghabiskan ruang harddisk sedangkan 1 responden menyatakan tidak tahu tentang log aktifitas.
Untuk akses Internet, Sebanyak 5 responden yang terletak di wilayah pemukiman pinggiran Jakarta menggunakan koneksi dial up, karena memang pelanggan mereka hanya sedikit sehingga mereka tidak memerlukan koneksi yang terlalu cepat. Alasan utama penggunaan teknologi ini adalah biaya perangkat yang dibutuhkan untuk koneksi teknologi ini tergolong murah dibandingkan teknologi lain. Sedangkan 5 responden lainnya tidak lagi menggunakan teknologi dial up, yaitu 1 responden menggunakan teknologi ISDN dan 4 responden lainnya menggunakan teknologi ADSL. Rata-rata yang menggunakan teknologi non-dialup adalah warnet yang berada di sekitar kampus, dalam hal ini di daerah Depok. Internet Service Provider (ISP) yang digunakan oleh 3 responden adalah Telkomnet Instan, 3 responden menggunakan Telkom Astinet, dan responden lainnya menggunakan ISP yang beragam. Para responden umumnya kurang puas dengan layanan ISP mereka masing-masing, terbukti sebanyak 7 responden mengeluhkan koneksi dari ISP, umumnya karena lambat dan sering terputus. Sebanyak 8 responden menyatakan bahwa sistem operasi komputer server mereka adalah Windows NT / 2000 Server. Hanya dua responden yang mengaku menggunakan Linux. Alasan mereka yang menggunakan sistem operasi Windows pada komputer server adalah karena sistem operasi ini lebih mudah dikonfigurasikan dibandingkan sistem operasi lain. Selanjutnya, diketahui bahwa seluruh responden menggunakan Windows 98 sebagai sistem operasi komputer client. Alasannya karena sistem operasi ini adalah sistem yang sudah paling dikenal oleh pelanggan, sehingga penggunaan sistem opersi lain akan menyulitkan pelanggan. Software aplikasi yang sering terpasang di komputer client secara umum adalah Microsoft Office, ACDSee, mIRC, Yahoo Messenger, Opera, Acrobat Reader, ICQ, Winzip, dan beberapa software aplikasi lain. Umumnya pengelola warnet menyadari bahwa penggunaan software proprietary tanpa membayar lisensi sebagaimana yang mereka lakukan adalah perbuatan melanggar undang-undang, dan dari hasil penelitian diketahui bahwa seluruh responden tidak memiliki lisensi sistem operasi / aplikasi yang mereka gunakan. Namun, mereka menyatakan bahwa skala usaha warnet tidak memungkinkan mereka untuk membeli lisensi software proprietary yang dirasa sangat mahal. ===== Peneliti: Donny B.U., S.T., M.Si. (ICT Watch researcher – donnybu@ictwatch.com)
Berdasarkan analisa sementara atas Laporan Hasil Riset Pengantar Kondisi Warnet Indonesia di atas, maka ICT Watch mengeluarkan draft rekomendasi yang bertujuan untuk mendorong industri warnet ke arah yang lebih kondusif, baik dari sisi bisnis maupun perannya pada masyarakat sekitar. Tentu saja draft rekomendasi ini masih perlu disempurnakan, sehingga kritik dan saran dari masyarakat merupakan hal yang senantiasa kami nantikan. Adapun butir-butir draft rekomendasi ICT Watch untuk warnet adalah sebagai berikut : 1) Warnet hendaknya
meletakkan akses dial up pada prioritas terendah dalam hal penggunaan
infrastruktur untuk akses Internet. Hal tersebut karena berkaitan langsung
dengan kebutuhan pelanggan warnet dan cash flow dari warnet itu sendiri.
Jika warnet yang menggunakan dial up tidak ingin merugi, tentunya jumlah
pelanggan harus bisa menutupi biaya dial up tersebut. Jika jumlah pelanggan
terbatas, maka terpaksa sewa akses Internet yang harus dibayar pelanggan
akan menjadi tinggi. Tetapi jika jumlah pelanggan banyak, maka kecepatan
akses Internet yang digunakan pelanggan akan menurun kualitasnya, dan
mengakibatkan pelanggan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencari
suatu informasi di Internet. Sehingga ujung-ujungnya, pelanggan tetap
harus membayar biaya yang tinggi untuk akses Internet di warnet. Biaya
yang tinggi akan menghambat pertumbuhan pelanggan warnet. Sehingga ini
akan berdampak pula pada semakin berkurangnya pelanggan warnet, dan tentunya
pemasukan dari warnet akan di luar target. Akibatnya, warnet terancam
kembang-kempis dan gulung tikar.
|
||||||||||||||||||||
|