From: "Heru Nugroho" Sender: mastel-anggota@yahoogroups.com Date: Tue, 03 Jul 2007 13:13:29 -0000 Subject: [mastel-anggota] Deregulasi UU bidang Telekomunikasi ?? Reply-To: mastel-anggota@yahoogroups.com Kawan2, Sehubungan banyak pertimbangan bahwa Undang-undang yang membidangi=20 sektor telekomunikasi, atau ICT secara keseluruhan sudah banyak yg=20 tidak relevan lagi dengan tren yang berkembang di era terkini, maka=20 MASTEL telah membentuk beberapa POKJA, diantaranya adalah: POKJA=20 PERUBAHAN UNDANG-UNDANG BIDANG TELEKOMUNIKASI. Dari beberapa hasil diskusi anggota di POKJA, saya selaku pimpinan=20 pokja coba merangkum & menyusun pokok2 pikiran tersebut dalam sebuah=20 kerangka awal yang masih perlu banyak masukan. Objective kami adalah menyusun sebuah naskah (akademis) untuk=20 nantinya bisa disampaikan sebagai masukan pemikiran kepada pihak2=20 yang ber-wenang di legislatif dan eksekutif. Kalo rekan2 disini punya pemikiran, tolong "ditumpahkan" disini dong,=20 buat nambah2 masukan dan referensi bagi kami. Trims yah... -hn- RANGKUMAN HASIL POKJA PERUBAHAN UU BIDANG TELEKOMUNIKASI I. LATAR BELAKANG Industri telekomunikasi dan informasi dalam dua dekade terakhir ini=20 mengalami banyak perubahan yang sangat dinamis, baik dari aspek=20 filosofi, teknologi, aplikasi, layanan dan tuntutan kebutuhan pemakai=20 jasa, baik di dunia maupun di Indonesia. Pada tataran filosofi, telekomunikasi telah menjadi komoditas=20 bernilai tinggi. Kapitalisme dan globalisasi ekonomi menempatkan=20 industri tsb sebagai komoditas yang punya nilai ekonomi yang amat=20 luar biasa besarnya. Perusahaan-perusahaan multinasional di bidang=20 telekomunikasi mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang amat pesat=20 terlebih setelah perkembangan teknologi memungkinkan "penggabungan"=20 dengan industri informasi. Komodifikasi industri komunikasi dan=20 informasi di tingkat global menjadi tak terelakkan. Pada tataran teknologi, telah terjadi perubahan yang fundamenal ke=20 arah konvergensi yang mengaburkan sekat-sekat sektoral antara=20 informasi dan (tele)komunikasi. Istilah Informations and=20 Communications Technology(ies) =96 ICT atau Teknologi Informasi dan=20 Komunikasi (TIK) menjadi satu makna yang mewakili peleburan sektor- sektor itu. Dengan konvergensi misalnya, siaran radio dan televisi=20 tidak lagi menjadi ranah (domain) penyelenggara atau lembaga=20 penyiaran, tetapi juga menjadi ranah penyedia jasa telekomunikasi,=20 demikian pula sebaliknya. Konvergensi pun menjadi keniscayaan dengan dukungan teknologi NGN (Next Generation Network). Teknologi masa depan yg sedang dlm tahap=20 pengembangan ini berbasis protokol internet (IP-based). Penggunaan=20 teknologi pengalamatan internet versi baru (IPv6) menjadi salah satu=20 andalan teknologi NGN. Dengan NGN semua jenis infrastruktur dapat=20 saling berkomunikasi, dan broadband. Di Indonesia, arah perkembangan industri dan bisnis telekomunikasi=20 juga mengikuti trend dunia. Langkah menuju konvergensi juga sudah=20 ditempuh oleh para penyedia jaringan dan jasa telekomunikasi. Produk- produk jasa konvergensi pun sudah mulai memasuki tahap komersialisasi. Di sisi lain, Negara (dalam hal ini Pemerintah) tetap harus memegang=20 filosofi telekomunikasi adalah "komoditas" vital, strategis dan=20 menguasai hajat hidup orang banyak. Penguasaan oleh negara terhadap=20 telekomunikasi tetap harus dipertahankan karena telekomunikasi=20 berkaitan erat dengan pemanfaatan frekuensi radio yang merupakan=20 sumber daya alam terbatas dan tidak dapat diperbarui. Dengan perkembangan yang telah dan akan terjadi, Negara dituntut=20 untuk memainkan peran "keseimbangan": antara tuntutan komodifikasi=20 dengan penguasaan negara, antara membuka keleluasaan masyarakat yang=20 mampu untuk menikmati kenyamanan produk TIK dengan membantu=20 masyarakat yang tidak mampu (melalui Universal Service Obligation- USO) guna menghapus digital divide. Pada kondisi sekarang dan mendatang Negara dituntut untuk=20 mengadakan/memfasilitasi atmosfir yang kondusif untuk terjadinya=20 persaingan yang sehat, fair, dan berkeadilan bagi semua pelaku bisnis=20 informasi dan komunikasi, serta masyarakat pengguna. II. PERUMUSAN MASALAH Salah satu instrumen untuk menciptakan keadaan yang kondusif tersebut=20 adalah keberadaan regulasi, berupa undang-undang dan produk=20 turunannya. Pada kondisi sekarang regulasi yang langsung berkaitan=20 dengan (tele)komunikasi adalah Undang Undang No 36/1999 tentang=20 Telekomunikasi. Namun, karena trend ke arah konvergensi sudah tak terelakkan maka=20 yang terjadi adalah: 1. Perkembangan konvergensi tidak bisa diakomodasi oleh UU No=20 36/1999. Sebab, UU ini dibuat dengan filosofi yang bersifat sektoral. 2. Perkembangan konvergensi berpontensi mengalami hambatan atau=20 situasi kontraproduktif bila dihadapkan pada sejumlah perundangan=20 yang ada saat ini, khususnya UU Telekomunikasi dan UU Penyiaran,=20 karena ada banyak kerancuan di dalamnya. Sebuah contoh: Provider ponsel menyelenggarakan jasa telekomunikasi berupa penyiaran=20 televisi kepada pelanggannya. Di sini problem perizinan terjadi. Berdasarkan UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi, Pasal 9 (1) menyebutkan bahwa Penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat=20 menyelenggarakan jasa telekomunikasi, dan Pasal 11 (1) menyebutkan=20 bahwa Penyelenggaraan telekomunikasi dapat diselenggarakan setelah=20 mendapat izin dari Menteri. Padahal berdasarkan UU No 32/2002 tentang=20 Penyiaran, Pasal 33 (5) menyebutkan bahwa =85 secara administratif izin=20 penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh Negara melalui KPI. Mengingat konvergensi telah mengaburkan sekat-sekat sektoral, maka UU=20 Telekomunikasi dan UU Penyiaran perlu dicabut, karena sudah=20 ketinggalan zaman (obsolete), dan dibuat perangkat undang-undang baru=20 yang relevan. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang No. 10 tahun=20 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (UU PPP), yang=20 menyatakan bahwa jika perundangan yang esensinya sudah tidak relevan=20 maka bisa dicabut, dan dibuat UU baru. Undang-undang baru tersebut dijiwai oleh filosofi: =95 Kovergensi teknologi. =95 Kompetisi penuh. =95 Perizinan tunggal (universal license). =95 Mengurangi/ menghapus digital divide. =95 Mendorong perkembangan industri perangkat keras dan lunak. =95 Perlindungan konsumen. III. MUATAN MATERI PERUBAHAN ATAU PENGGANTI UU 36/1999 1. Kebijakan Umum. a) Telekomunikasi akan tetap dikuasai oleh Negara. b) Bentuk penguasaan oleh Negara diwujudkan dalam pengaturan=20 peruntukan sumber-sumber daya alam terbatas (a.l frekuensi radio dan=20 penomoran) dan mengatur hak-hak dari penyelenggara dan masyarakat,=20 serta standardisasi teknis perangkat / peralatan telekomunikasi. c) Telekomunikasi akan tetap memiliki peran penting dalam kehidupan=20 berbangsa dan bernegara, sebagai alat pemersatu bangsa, mendukung=20 pertumbuhan perekonomian nasional, dan pemerintahan dll. d) Pembangunan telekomunikasi harus diarahkan untuk memecahkan=20 masalah kesenjangan ketersediaan sarana antara daerah perkotaan dan=20 pedesaan (digital divide) dan pemerataan penyebaran informasi. e) Frekuensi radio dan penomoran sebagai sumber daya terbatas harus=20 dioptimalkan pemanfaatannya dan dapat memberikan kontribusi bagi=20 penerimaan negara bukan pajak. Penetapan penggunaannya harus melalui=20 pelelangan secara terbuka. f) Penyelenggaraan telekomunikasi dilaksanakan berdasarkan azas=20 manfaat, mandiri, dst. 2. Peran Pemerintah. Pemerintah melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan=20 telekomunikasi, yang meliputi kegiatan pengawasan dan penetapan=20 kebijakan pembangunan telekomunikasi, mengatur peruntukan dan=20 pemanfaatan frekuensi radio, serta menyediakan subsidi dana pembangunan, dan penetapan penyelenggara telekomunikasi di daerah USO. 3. Konvergensi teknologi infrastruktur telekomunikasi dan penyiaran=20 Tidak ada lagi pembedaan antara jaringan untuk penyelenggaraan=20 telekomunikasi dengan jaringan untuk penyelenggaraan penyiaran.=20 Karena itu, perizinan menganut unified licensing artinya setiap=20 pemegang izin penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dapat=20 menyediakan seluruh jenis jasa telekomunikasi (termasuk penyiaran). 4. Peran serta masyarakat. Perlu diberikan kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat untuk=20 berpartisipasi dalam penyelenggaraan dan pembangunan telekomunikasi=20 di daerahnya, terutama di daerah terpencil, dan pemerintah memberikan=20 insentif, antara lain dalam bentuk keringanan pajak, biaya penggunaan=20 frekuensi dan biaya hak penyelenggaraan. 5. Kepemilikan Asing a) Penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia antara lain didasarkan=20 pada asas kemandirian dan kepercayaan pada diri sendiri, namun=20 sebagai langkah untuk alih dan penguasaan teknologi, kesiapan dalam=20 berkompetisi serta dukungan dana untuk pembangunan infrastruktur=20 telekomunikasi di Indonesia, keikutsertaan asing dalam usaha=20 penyelenggaraan telekomunikasi tetap dibutuhkan. b) Kepemilikian asing dalam bentuk modal saham perusahaan=20 penyelenggaraan telekomunikasi sampai 10 tahun ke depan tidak perlu=20 dibatasi namun harus tetap bermitra dengan pihak Indonesia dalam=20 perimbangan kepemilikan saham yang wajar. 6. Pelayanan Universal (USO). Penyelenggara USO dipilih dari para calon yang berminat menjadi=20 penyelenggara baik yang berasal dari penyelenggara yang sudah ada=20 maupun calon penyelenggara baru melalui pelelangan yang terbuka, transparan danbebas dari kepentingan manapun. 7. Desentralisasi. Pemerintah Daerah dapat secara mandiri atau bekerja sama dengan pihak- pihak lain yang telah memiliki pengalaman sebagai penyelenggara=20 telekomunikasi untuk menjadi penyelenggara telekomunikasi di daerah,=20 terutama USO. 8. Produksi Dalam Negeri. Pemerintah perlu mendorong pertumbuhan industri perangkat=20 pertelekomunikasian Indonesia. 9. Lembaga Regulasi. Badan Regulasi Telekomunikasi Independen (BRTI) mutlak dibutuhkan=20 untuk mengatur level of playing field. BRTI harus punya kedudukan=20 yang jelas, dan independen. 10. Perangkat regulasi. Peraturan-peraturan harus memiliki karakteristik anti-monopoli dan=20 melindungi kepentingan konsumen dan sebesar mungkin berorientasi=20 kepasar. Peraturan yang lebih rendah harus merupakan jabaran dan=20 pelaksanaandari perturan yang lebih tinggi sehingga tidak boleh=20 bertentangan. 11. Perizinan. Tata perizinan harus sederhana, transparan, adil dan cepat. Dalam=20 satu izin dapat merupakan izin penyelenggaraan berbagai jenis jasa=20 yang merupakan jasa turutan dari jasa utama yang menggunakan jaringan=20 telekomunikasi yang sama. Penyelenggaraan telekomunikasi yang tidak=20 berkaitan dengan sumber daya terbatas seyogyanya tidak diperlukan=20 izin (lisensi). 12. Pentarifan. a) Tarif ditentukan oleh penyelenggara berdasarkan mekanisme pasar. b) Pemerintah menentukan formula tarif dengan mempertimbangkan antara=20 lain besarnya investasi dan masa pengembalian investasi, daya beli=20 masyarakat, produktivitas dan keuntungan penyelenggara dan traffic=20 yang ditumbuhkan. c) Dilarang subsidi silang melalui pemberlakuan tarif antara satu=20 jaringan / jasa dengan jaringan / jasa telekomunikasi lainnya oleh penyelenggara yang sama. 13. Inovasi teknologi. Pemerintah mendorong timbulnya inovasi dalam penyelenggaraan=20 telekomunikasi termasuk penggunaan teknologi baru sehingga=20 memungkinkan timbulkan jasa-jasa telekomunikasi baru dengan jangkauan=20 pelayanan yang lebih luas dan harga yang terjangkau. 14. Sertifikasi peralatan. Untuk menjaga keterhubungan dan operasionalisasi (interconnectivity=20 and interoperability) sertifikasi peralatan harus dilakukan dengan=20 tingkat kedisiplinan yang tinggi. 15. Pengelolaan sumber daya alam terbatas. a) Pengalokasian spektrum frekuensi radio untuk setiap jenis=20 layananditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatian ketentuan- ketentuan yang berlaku di International Telecommunication Union =96 ITU. b) Optimalisasi pemanfaatan frekuensi radio dilakukan antara lain=20 melalui pelelangan secara terbuka. c) Aspek penomoran bagi setiap penyelenggara jaringan dan jasa=20 telekomunikasi harus berdasarkan kepada ketentuan di dalam Dokumen=20 Perencanaan Dasar Teknis (Fundamental Technical Plan). d) Perencanaan Dasar Teknis harus senantiasa diperbarui dengan=20 mengantisipasi perkembangan teknologi menuju nomor pelanggan virtual=20 dan single number identifications. 16. Penyelenggaraan. a) Struktur pasar penyelenggaraan telekomunikasi adalah pasar yang=20 kompetitif. b) Pemerintah menciptakan kondisi bagi terwujudnya pasar yang=20 kompetitifdi daerah-daerah yang belum terjadi kompetisi. c) Setiap penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan praktek=20 monopoli, melaksanakan kompetisi yang sehat, serta tidak melakukan=20 subsidi silang antara satu jasa dengan jasa lainnya dan jika=20 diperlukan bersedia untuk membuat pembukuan terpisah. 17. Perlindungan bagi konsumen/pengguna. Undang-undang ini harus mencantumkan hak dan kewajiban konsumen atas=20 layanan telekomunikasi yang didapatnya, termasuk di dalamnya hak atas=20 nomor identitas. 18. S a n k s i. Pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan harus dikenakan=20 sanksi, yang dapat menimbulkan efek jera. Namun, sanksi juga harus=20 memiliki aspek pembinaan dan tetap konsisten dalam penerapannya.