Integrasi TI ke Kurikulum Nasional SD-SMU Onno W. Purbo Tampaknya DEPDIKNAS mulai bergerak memasukan teknologi informasi sebagai bagian dari kurikulum nasional. Bahkan bukan mustahil di tahun 2005 mendatang, seluruh SMU di Indonesia harus mengimplementasi Teknologi Informasi sebagai bagian dari kurikulum. Hal ini saya sadari ketika pada tanggal 29 Juli 2004 malam hari di sekitar Cisarua puncak memberikan masukan kepada tim kurikulum nasional yang di bentuk oleh pusat kurikulum DIKNAS. Memang agak terlambat, karena rekan-rekan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di pimpin oleh DR. Gatot HP Direktur DIKMENJUR DIKNAS telah melakukan hal ini sejak empat (4) tahun yang lalu dan telah berhasil mengkaitkan 3000-an SMK ke Internet, adanya program SMK TI, adanya IT Center di beberapa kota, dan aktifitas WAN Kota di 30+ kota di Indonesia. SMU tampaknya ketinggalan kereta api di bandingkan rekan-rekan-nya DIKMENJUR. Tulisan ini merupakan rangkuman pemikiran yang saya sampaikan kepada rekan-rekan di Pusat Kurikulum DIKNAS. Mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi pendidikan di Indonesia. Satu hal yang saya rasakan sangat kuat pada saat pertemuan dengan Pusat Kurikulum Nasional adalah DIKNAS tampaknya seperti merasa bahwa urusan memasukan teknologi informasi ke sekolah adalah tanggung jawab penuh DIKNAS. Hal ini mungkin akan menjadikan kontra produktif jika secara institusi DIKNAS memaksakan semua terpusat di bawah DIKNAS tanpa kerjasama dengan berbagai inisiatif lain yang ada di Indonesia. Perlu di catat bahwa sudah banyak inisiatif untuk komputerisasi & internetisasi untuk dunia pendidikan seperti Sekolah 2000 APJII, Internet Goes To School Telkom, One School One Lab (OSOL) Menkominfo tapi diantara sekian banyak inisiatif yang paling sukses harus di akui adalah inisiatif DIKMENJUR yang di komandani oleh DR. Gatot HP, direktur DIKMENJUR. Belum inisiatif besar lainnya seperti Indonesia Goes Open Source (IGOS) Menristek cs, PC-RI dll. Oleh karena tampaknya perlu sekali per-teman-an antar inisiatif agar terjadi sinergi saling menguntungkan untuk bangsa. Tentunya semua bukannya tanpa kendala, memang infrastruktur tingkat SMU mungkin lebih siap di bandingkan dengan tingkat di bawahnya walaupun hanya segelintir SMU yang memiliki mesin FAX (misalnya). Sialnya, hanya 10% dari SMP ada listrik. Di tingkat SD kondisi lebih parah lagi, boro-boro listrik, gedung-pun sebagian akan ambruk. Belum lagi sedikit guru melek komputer, di tambah lingkungan yang gaptek. Masyarakat mungkin masih berfikir 2-3 kali untuk menyisihkan uang untuk komputer, lebih baik untuk membeli makan dan keperluan sehari-hari. Jadi sebetulnya kita menghadapi kondisi yang parah di tingkat bawah. Ada beberapa filosofi mendasar yang saya usulkan untuk di perhatikan untuk memasukan teknologi informasi menjadi bagian dari kurikulum sekolah. Pada kondisi yang ideal, dengan infrastruktur tersedia, maka saya sebetulnya lebih suka melihat teknologi informasi menjadi alat bantu bagi semua mata pelajaran sekolah, baik itu mata pelajaran IPA, IPS, bahasa, sejarah, dll. Saya justru tidak suka melihat teknologi informasi menjadi mata pelajaran tersendiri di sekolah, khususnya di tingkat SD. Tentunya kondisi ideal ini hanya mungkin dilakukan di sekolah-sekolah yang baik, dengan guru yang qualified, infrastruktur komputer, jaringan internet tersedia dan umumnya berada di kota besar. Pada tingkat SMU, listrik & telepon umumnya ada & guru lebih terdidik. Beberapa langkah praktis yang perlu dilakukan: 1. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah training for trainer. Contoh nyata adalah yang dilakukan oleh IT Center, Surabaya oleh inisiatif guru-guru SMK DIKMENJUR untuk memberikan training komputer bagi 1000 guru di Surabaya. 2. Gunakan pola mendanai diri sendiri untuk pengadan komputer maupun operasional akses ke Internet. Dengan harga komputer pentium III kelas bawah Rp. 1.5 juta, dan biaya akses Internet Rp. 10.000,- / jam. Dengan biaya Rp.3000 / murid / bulan menggunakan konfigurasi LAN 9 komputer, Mail Server Lokal dengan total investasi mendekati Rp. 20 juta, maka modal akan kembali dalam waktu satu (1) tahun. Detail perhitungan bisnis plan dalam bentuk Excel untuk menyambungkan sekolah yang murah dapat di peroleh dari saya via e-mail onno@indo.net.id. Alternatif konfigurasi infrastruktur saya jelaskan lebih detail di majalah infokomputer. 3. Bermula dari sebuah komputer sebagai alat bantu untuk perolehan pengetahuan melalui CD-ROM, copy harddisk, atau Internet sebagai referensi pengetahuan. Sebaiknya tidak memfokuskan pada skill komputer sebagai alat bantu editor teks. Untuk memberikan gambaran, bayangkan jika para siswa di wajibkan mencari jawaban pekerjaan rumahnya di http://www.google.com. Dengan pertanyaan (misal)-nya, siapakah R.A. Kartini? Apakah Borobudur? Terangkan berbagai jenis Pokemon? Coba pelajari tentang asal muasal Spiderman? Saya yakin bahwa akan kaget akan besarnya informasi yang di peroleh melalui Internet, dan umumnya tidak terdapat di buku cetak sekolah. Belajar sambil bermain dengan komputer & internet, sehingga mengintegrasikan penggunaan komputer sebagian alat bantu belajar, mencari informasi, mengumpulkan informasi, belajar membaca bahasa inggris, tetapi bukan komputer sebagai objek belajar. Hal ini sangat penting artinya khususnya di kelas-kelas awal sekolah dasar (SD). Kesalahan yang paling fatal dalam proses integrasi teknologi informasi ke kurikulum sekolah adalah menjadikan teknologi informasi sebagai objek belajar, bukan sebagai alat bantu belajar. Saya yakin DIKNAS akan terjerat dalam pusaran negatif jika memposisikan teknologi informasi sebagai objek belajar. Dengan cara demikian, DIKNAS tidak perlu terlalu pusing untuk memikirkan mencari dana / proyek / utangan bank dunia untuk membuat materi belajar teknologi informasi bagi sekolah-sekolah. Bagi sekolah yang betul-betul tidak mampu, sebetulnya banyak inisiatif di luar yang berusaha membantu dunia pendidikan dengan pinjaman komputer, hibah komputer, bantuan pengajaran dll, seperti yang dilakukan oleh Internet Goes To School Telkom, Acara Turun Gunung ICT Watch, Sekolah 2000 APJII dll. Langkah selanjutnya khususnya untuk tingkat SMP & SMU / SMK adalah menjadi teknologi informasi sebagai sarana pertukaran pengetahuan, baik yang bersifat eksplisit (tertulis) maupun implisit (dalam kepala). Bagaimanakah langkah yang praktis, sederhana, biaya murah, tidak membebani APBN, tidak perlu proyek, tidak perlu hutang ke Bank Dunia, atau IMF dsb? Dalam penjelasan berikut saya coba ketengahkan beberapa langkah sederhana tapi sudah di coba di beberapa sekolah maupun mahasiswa saya sendiri dan hasilnya cukup manjur. Perlu kita sadari bersama, bahwa pada tingkat SMP apalagi SMU, seringkali murid lebih pandai dari guru-nya untuk melakukan manouver menggunakan komputer dan Internet. Filosofi yang di tekankan adalah: ?Nilai seseorang tergantung pada manfaat seseorang pada masyarakat sekitarnya? Langkah yang saya usulkan adalah sebagai berikut: 1. Gunakan komputer & Internet sebagai media untuk ngobrol, untuk bertukar pengetahuan implisit. Caranya relatif sederhana, menggunakan fasilitas e-mail dan mailing list. Umumnya servis mailing list dapat di peroleh secara gratis di Internet. Biaya yang dibutuhkan untuk ini semua dapat di tekan menjadi sekitar Rp. 45-100.000,- / sekolah / bulan, jik operator sekolah cukup pandai untuk mengkonfigurasi server mail server dengan sambungan dial-up. 2. Siswa sebaiknya di dorong untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di mailing list, selain untuk mengasah pengetahuannya juga untuk sharing pengetahuannya. 3. Jangan kaget jika 2-4 tahun mendatang, mereka yang aktif menjawab pertanyaan di mailing list akan cakap membuat pengetahuannya sendiri, menulis artikel, menulis buku menjadi produsen pengetahuan itu sendiri. Akan lebih baik lagi jika seorang siswa yang mampu menuliskan ilmu / pengetahuannya dalam bentuk artikel / buku memperoleh kredit bagi pelajarannya sukur-sukur dapat memperoleh imbalan honor dari majalah atau penerbit yang menerbitkannya. 4. Ada baiknya semua tugas siswa yang bentuknya softcopy, di kumpulkan di sebuah harddisk atau web, untuk memudahkan sharing pada rekan-rekan lain, sharing antar sekolah maupun sebagai referensi bagi adik-adiknya di kemudian hari. Hal ini saya lakukan dengan cara mengumpulkan berbagai tulisan dalam bentuk softcopy di harddisk dan menyebarkannya. Yang kita perlu sadari bersama bahwa langkah / proses di atas juga akan melakukan tekanan psychologis terhadap siswa untuk bekerja dengan baik, karena hasil karyanya, jawaban pertanyaannya akan dapat di baca oleh orang banyak melalui Internet. Pekerjaan yang tidak baik akan mencoreng namanya di kemudian hari. Mudah-mudahan tulisan ini dapat menjadi masukan bagi integrasi teknologi informasi ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia. Mudah-mudahan bukan sebuah impian di siang bolong untuk dapat melihat 48 juta siswa Indonesia berada di Internet.