World Dialog on Regulation Onno W. Purbo Pagi 16 November 2005, saya berkesempatan untuk duduk di World Dialog on Regulation. Pada pemikir kebijakan terutama dari Amerika Utara, Eropa dan Afrika berkumpul pada kesempatan ini. Prof. Robin Mansell dari London School of Economics mengetengahkan satu hal yang amat penting dalam amat fatal yang saya lihat terjadi juga di kebijakan-kebijakan di Indonesia. Robin mengamati dengan sangat kritis kegagalan utama yang terjadi dari kebijakan-kebijakan telekomunikasi dan ICT di negara berkembang di Afrika terutama karena terlalu berpihaknya kebijakan yang ada kepada supply side. Contoh kebijakan supply side, adalah kebijakan yang lebih mementingkan regulasi untuk operator & pemain. kebijakan-kebijakan tarif telekomnunikasi. bermain dengan pola industri seperti monopoli, duopoli dll. Robin meyakinkan dengan berbagai grafik & berbagai hasil penelitiannya yang menunjukan bahwa demand side, market driven itu ternyata harus di perhatikan bahkan mungkin harus lebih di empower. Dalam konteks di Indonesia, contoh sederhana dari demand side policy adalah pembangunan jaringan internet untuk sekolah, empowerment dari RT/RW-net, dan salah satu yang paling extrim adalah melakukan liberalisasi habis-habisan di pasar sehingga berbagai entitas di tingkat grass root dapat membangun sendiri infrastruktur-nya tanpa perlu takut di sweeping, di kejar polisi. Strategi liberalisasi juga tampaknya ada di Pak Tengku Azzman salah satu ex direktur MIMOS Malaysia yang merupakan pendorong Multi Media Super Corridor di Malaysia yang kebetulan makan pagi bersama saya. Pak Tengku secara eksplisit mengusulkan kepada saya bahwa sebaiknya Indonesia meliberalisasi industri telekomunikasinya kalau memang mau memajukan industri telekomunikasi di Indonesia. waktu ngobrol dengan Richard Fuchs di acara WDR Richard memperlihatkan kepada saya sebuah slide dari rekan-rekan ORBICOM tentang perkembangan dunia di 10 tahun terakhir dari 1995 s/d 2005. Ada 3 hal yang berkembang drastis selama 10 tahun terakhir jumlah PC, internet host, internet user dan mobile / selular user. Yang parah adalah literacy, telepon konvesnsional dan yang kasian adalah traffic pembicaraan internasional. Dari semua diskusi dan berbagai ceramah yang diberikan ada satu hal yang tampaknya menjadi penting dalam sebuah proses formulasi sebuah kebijakan yang tampaknya tidak ada di Indonesia. Proses pembuatan kebijakan disini tampak sekali sangat di dasari oleh angka dan data yang akurat, dan di analisa secara kritis oleh pemikir-pemikir yang memang ahli dan berdedikasi di wilayahnya. Proses capture data menjadi sangat pekerjaan yang sangat serius yang dilakukan oleh para peneliti kebijakan ini. Pengalaman saya berinteraksi dengan pemerintah dalam hal ini POSTEL & KOMINFO ... mereka tidak mempunyai banyak data, kalaupun ada data, biasanya sangat umum dan tidak detail. Akan sulit sekali bagi sebuah institusi kebijakan untuk beragumentasi dengan data yang demikian terbatas. Padahal pengalaman saya mencari data yang dibutuhkan tidak terlalu sukar asal mau turun kelapangan dan melakukan berbagai investigasi. Pertanyaan selanjutnya adalah .. apakah arah kebijakan & aturan ICT & telekomunikasi di Indonesia sudah benar?