WSIS 2005: Perseteruan e-Inclusion Barat Versus Timur Onno W. Purbo Rakyat Indonesia Biasa 16-19 November 2005 World Summit on Information Society (WSIS) 2005 di Tunisa dihadiri 20.000 peserta & pejabat tinggi berbagai negara untuk merencanakan jalan ke depan bagi masyarakat Informasi dunia. Terus terang, tidak ada hasil yang terlalu menyolok dari deklarasi WSIS 2005. Terutama karena Amerika Serikat tidak mau melepaskan kekuasaan atas Root Server Internet. Strategi & langkah mengkaitkan (e-Inclusion) berbagai kelompok masyarakat menjadi topik favorit. Teknologi ?One Laptop Per Child? dengan laptop US$100 dari Nicholas Negroponte MIT Media Lab menjadi favorit. Dari sisi grass root, teknologi Indonesia berbasis Wireless Internet dengan antenna kaleng menjadi favorit. Workshop antenna kaleng di paviliun IDRC Canada tempat rekan-rekan saya menjalankan workshop penuh sesak. Tidak seperti delegasi Indonesia yang lain, saya berangkat di biayai oleh IDRC Canada & tidak menghabiskan devisa republik ini, bahkan saya harus membayar fiskal yang sebelumnya dijanjikan bebas. Yang paling menarik adalah paradigma yang mendasari strategi kebijakan ICT yang berpihak pada kemiskinan (pro poor) dan pasar (pro market). Mereka (orang barat) yang terbiasa hidup enak, kaya, dilingkungi teknologi tinggi, ternyata mempunyai pendekatan yang 180 derajat berbeda dengan saya yang dari Indonesia, negara miskin yang tidak mempunyai apa-apa. Di WSIS, saya berkesempatan duduk sebagai panelis di pro poor pro market ICT policy dalam diskusi Policy, Regulatory and Research Priorities. Panel di pimpin oleh Kerry McNamara dari InfoDEV World Bank. Duduk sebagai panelis antara lain Prof. Randy Spence, pemenang nobel bidang ekonomi, dan Prof. William (Bill) Melody, Bapak liberalisasi industri telekomunikasi di Amerika Serikat yang berhasil memecah AT&T menjadi beberapa perusahaan baby Bell. Solusi orang kaya mengangkat orang miskin, sangat berbeda dengan seorang rakyat biasa dari negara miskin dengan 12+ tahun pengalaman mengangkat bangsa-nya dari jurang digital divide. Solusi orang kaya sangat standard dengan memberi subsidi, universal service obligation, project based, dalam waktu terbatas & kurang berkesinambungan. Pada kesempatan itu, pemikiran saya paling ekstrim, berbekal pengalaman 12+ tahun membangun ICT Indonesia. Posisi & usulan strategi di terima dengan tepuk tangan yang semarak dari seluruh peserta & terutama didukung oleh Bill Melody, Kerry McNamara dan Ben Petrazzini dari Brazil. Pada dasarnya selalu ada dua (2) jalan yang dapat kita gunakan dalam kebijakan ICT untuk pembangunan. Apakah top down atau bottom-up; apakah supply-side atau demand-side; apakah projek-based atau people / community movement (pergerakan); apakah subsidi atau swadaya masyarakat; apakah short-term atau long-term. Semua pilihan yang tergantung kekuatan (strength) & kesempatan (opportunity) yang ada. Untuk berhasil menjembatani digital devide di negara miskin, ada tiga kekuatan yang menentukan keberhasilan, yaitu, apakah anda mempunyai kekuasaan yang besar seperti seorang menteri, atau dirjen? Atau apakah anda mempunyai uang banyak? Atau anda mempunyai massa yang besar? Kenyataan hidup di Indonesia, susah mengandalkan pemerintah yang bisanya mensweeping WARNET, toko komputer, 2.4 / 5.8GHz & RT/RW-net. Rakyat jelas tidak punya banyak uang. Uang rakyat adalah uang receh. Solusi murah & user-friendly menjadi kunci. Membuat massa yang besar menjadi pilihan terakhir, massa yang nantinya dapat menekan kebijakan pemerintah agar lebih pro poor dan pro rakyat. Semua merupakan proses pencerdasan anak bangsa. Dengan kondisi tidak banyak uang, proses diseminasi pengetahuan harus swadaya masyarakat. Paling murah mengajak semua teman-teman & para mahasiswa menulis artikel, menulis buku agar ilmu tersebar ke masyarakat, aktif di mailing list, berdiskusi dan mengadakan acara seminar, demo & workshop dengan biaya murah Rp. 15-30.000,- yang terjangkau kantong rakyat banyak. Pemandaian rakyat meningkatkan keyakinan pada teknologi sebagai solusi untuk keluar jurang kemiskinan, bahkan rakyat rela mengeluarkan uang sendiri & invest teknologi bahkan mengoperasikan infrastruktur-nya. Semua dilakukan tanpa dukungan pemerintah, tanpa utangan Bank Dunia dan tanpa IMF, sehingga termasuk strategi paling ekstrim yang di paparkan dalam panel tingkat tinggi WSIS 2005. Rakyat Indonesia terbukti dapat membangun sendiri infrastruktur Internetnya. Tak ada negara yang mempunyai WARNET dalam jumlah besar 3000+ WARNET dan terorganisir dalam Asosiasi Warnet Indonesia (Awari). Tidak ada negara yang berhasil membangun Wireless Internet di 2.4GHz & 5.8GHz dalam skala besar. Tidak ada negara yang mengembangkan RT/RW-net semasif Indonesia. Di tahun mendatang, Indonesia juga tampaknya akan menjadi contoh bagi infrastuktur VoIP Rakyat & VoIP Merdeka yang akan memotong SLJJ & SLI operator. Semua hanya ada di Indonesia, dengan massa yang semakin hari semakin besar. Akumulasi massa akan menekan pemerintah atau siapapun pimpinan yang tidak berpihak pada rakyat. Pemerintah dengan terpaksa mengeluarkan kebijakan yang pro poor & pro rakyat. Tentunya perjuangan membutuhkan waktu yang lama, bukan 1-2 tahun. Dalam kasus pembebasan 2.4GHz sebetulnya proses berjalan lebih dari 12 tahun mulai dari experimen menggunakan teknologi radio paket tahun 1993-an. Solusi untuk keluar dari kemiskinan akan lebih masuk akal jika berasal dari orang yang sehari-hari bersama keringat rakyat kebanyakan, tujuannya murni dan tidak menjilat, serta tidak melulu mencari proyek. Indonesia telah membuktikan dapat mengeluarkan sebagian rakyatnya dengan cara membangun dari bawah. Banyak negara berkembang lain yang ingin belajar pada Indonesia. Kalau saja para birokrat & politikus menyadari kekuatan bangsa Indonesia & tidak perlu menjual kemiskinan Indonesia untuk berhutang pada luar negeri.