WSIS 2005 dan Harumnya Indonesia Onno W. Purbo World Summit on Information Society (WSIS) 2005 telah di selenggarakan 16-19 November 2005 yang lalu di Tunis. Tidak seperti deklarasi WSIS 2003 di Geneva yang sangat signifikan mengarahkan masyarakat IT dunia untuk mengkaitkan pendukung dunia ke Internet di tahun 2015, tidak banyak hasil yang menarik dari deklarasi Tunis. Beberapa rekan dekat saya dari Asia Pacific yang sempat saya wawancara, seperti Adams Peak (Jepang), Tengku Azzman (Malaysia), Emanuel Llana (Filipina), dan Chadamas Thuvasethakul (Thailand) umumnya berpendapat bahwa tidak ada yang terlalu istimewa di deklarasi WSIS 2005. Terutama karena Amerika Serikat tidak mau melepaskan authoritasnya atas Internet di dunia. Ada dua hal besar yang dihasilkan, yaitu, Internet Governance Forum dan Internet Solidarity Funds. Internet Governance Forum diharapkan menjadi forum yang dapat memfasilitasi berbagai hal untuk kebaikan Internet, seperti, penanggulangan masalah spam, pencurian / carding di Internet dll. Tapi sebetulnya Internet Governance Forum tidak mempunyai hak apa-apa untuk menindak, mengeksekuasi maupun membuat kebijakan yang harus di taati semua negara. Jadi hanya mengandalkan tenggang rasa antar negara saja, tidak multak sifatnya. Ide dasar Internet Solidarity Funds adalah semacam zakat dari mereka yang maju di Internet untuk membantu yang miskin di Internet agar kita semua dapat menjadi maju bersama. Sialnya mekanisme untuk Internet Solidarity Funds tidak jelas, siapa yang wajib membayar zakat, bagaimana pendistribusiannya, siapa yang berhak menerima semua tidak jelas. Hal ini mungkin akan menyebabkan kemacetan dalam Internet Solidarity Funds. Terlepas dari hal-hal yang mengambang di deklarasi Tunis, kesempatan WSIS 2005 memberikan hal positif sebagai ajang sharing pengetahuan, pengalaman maupun persahabatan di antara masyarakat IT dunia. Hal yang paling menarik yang saya perhatikan, masyarakat IT dunia haus akan alternatif / solusi untuk menjembatani digital divide yang sederhana, murah, swadaya masyarakat dan mandiri. Di sisi ini nama Indonesia menjadi harum sekali di WSIS 2005, saya pribadi sering kali bertemu dan di salami oleh banyak rekan dari negara lain yang sering kali saya lupa / tidak mengenalnya sungguh mengharukan tanggapan mereka terhadap perjuangan & contoh yang telah diberikan oleh masyarakat IT Indonesia terhadap dunia. One Laptop Per Child yang di canangkan oleh Nicholas Negroponte dari MIT Media Lab di Amerika Serikat merupakan salah satu idola yang paling di nantikan di WSIS 2005. Setiap kali Negroponte berbicara ruangan mereka akan penuh sesak hingga keluar ruangan. Negropenta dan tim-nya berhasil menghasilkan Laptop seharga US$100 dengan berbagai inovasi baru yang di kembangkan di MIT Media Lab. Teknologi kunci dari Laptop US$100 berada di layar monitor LCD yang memungkinkan laptop US$100 menjadi tablet PC maupun ebook. Software open source di sponsori RedHat terinstall di laptop yang menjalankan software wikipedia semacam ensiklopedia untuk pendidikan. Laptop ini tidak menggunakan harddisk sama sekali dan sangat hemat batere. Dirancang untuk dapat tersambung ke jaringan WiFi secara langsung dan dapat digunakan untuk telepon VoIP, jadi bisa membangun infrastruktur telkom sendiri. Beberapa hal yang akan menarik lainnya adalah penampilan Jepang berupa ubiquotous teknologi yang memaksakan IT untuk dapat dipakai di segala sendi kehidupan. Sayang kurang peka terhadap kebutuhan negara miskin dan negara berkembang. Intel tampaknya cukup gigih untuk mendorong teknologi WiMAX. Teknologi WiMAX merupakan kelanjutkan dari Teknologi WiFi tapi lebih di arahkan untuk operator telekomunikasi. Dengan harga base station antara US$15-30.000, masih sekitar 1/10 dari base station 3G, WiMAX menjanjikan jauh lebih banyak kemampuan daripada 3G. Ada baiknya pemerintah Indonesia men-drop masalah 3G dan memfokuskan diri pada WiMAX saja karena 3G terlalu mahal. Tentunya di bandingkan WiFi yang sebuah base station-nya hanya US$200-300, WiMAX masih terasa sangat mahal. Event diskusi tentang strategi / kebijakan ICT yang berpihak pada rakyat miskin dan pasar yang kebanyakan di sponsori oleh Global Knowledge Parnetship, IDRC, SIDA maupun InfoDEV Wotld Bank. Kebetulan saya diminta sebagai pembicara di event-event ini dan duduk berdampingan dengan Prof. Randy Spence pemenang nobel bidang ekonomi dan Prof. Bill Melody yang merupakan Bapak liberalisasi telekomunikasi di Amerika Serikat dan memecah monopoli yang ada menjadi banyak Baby Bell. Mereka juga teman lama saya yang telah terlibat lama dalam diskusi kebijakan sejak 2-3 tahun yang lalu. Menarik bagi saya melihat pola fikir barat dalam memecahkan masalah kemiskinan. Mungkin karena mereka kaya, cara berfikir sangat konservatif berbasis pada subsidi dan top down yang lebih berfihak pada operator sangat kental sekali. Sementara cara berfikir saya tampaknya 180 derajat berbeda dengan kebanyakan peneliti kebijakan kelas dunia ini. Mungkin karena saya dari Indonesia yang susah mengharapkan subsidi, maupun bantuan dari operator telekomunikasi apalagi menambah utang dari Bank Dunia & IMF, amit-amit. Berbasis pada pengalaman selama 12 tahun membangun IT di Indonesia. Kisah perjuangan pembangun IT di Indonesia secara swadaya masyarakat, yang kental nuansa pemberdayaan masyarakat secara mandiri melalui strategi empower para penulis buku, artikel, berbagai acara demo dan roadshow menjadi hal yang sangat mengagumkan bagi para pakar kebijakan telekomunikasi dunia. Apalagi perjuangan ini telah terbukti berhasil dengan baik dengan dibebaskannya frekuensi 2.4GHz di Indonesia bulan January 2005 yang lalu. Pola strategi dan kebijakan bottom up, community based, demand side, poeple's power akhirnya menjadi hangat dan mendapat sambutan luar biasa diantara para peserta diskusi policy IT untuk mengentaskan kemiskinan. Terima kasih para pejuang IT Indonesia yang telah membuktikan bahwa pola yang kita pakai di Indonesia ternyata menjadi contoh yang baik bagi dunia. Jika kita perhatikan secara seksama sebetulnya sebagian besar peserta WSIS 2005 sebetulnya amat sangat mencari solusi & strategi sukur-sukur pengalaman di lapangan untuk infrastruktur IT yang pro poor dan pro market. Indonesia sebetulnya sangat kaya pengalaman dan sangat kreatif akan hal-hal yang berkaitan dengan IT untuk rakyat, kita mampu mempunyai banyak kelebihan di bandingkan negara berkembang lain. Sebetulnya hal ini pernah saya sampaikan beberapa kali dalam rapat tim persiapan delegasi Indonesia ke WSIS 2005 tapi tampaknya usulan saya yang hanya rakyat biasa tidak terlalu terdengar. Tampaknya tim delegasi RI terlalu sibuk menyiapkan argumentasi untuk deklarasi WSIS 2005 dan membuat pavilion Indonesia yang ukurnya relatif kecil dan tidak signifikan di bandingkan banyak negara lain. Pada akhirnya tidak terlalu berdampak signifikan. Pada WSIS 2005 event workshop membuat Antenna kaleng susu menjadi idola banyak pengunjung WSIS 2005. Paviliun Canada dimana IDRC bernaung mengadakan event workshop pembuatan antenna kaleng secara rutin yang di hadiri oleh ratusan peserta WSIS 2005 dan membuat pavilion mereka penuh sesak. Workshop di gelar oleh rekan-rekan saya seperti Bruno dari Afrika, Sebastian dari Denmark dan masih banyak lagi. Richard Fuchs direktur program ICT di IDRC sempat berseloroh kepada saya, ?Onno lihat akibat dari apa yang kamu ajarkan kepada IDRC beberapa tahun yang lalu?. Memang saya adalah orang pertama yang memperkenalkan kepada IDRC dan banyak mitra mereka tentang infrastruktur Internet menggunakan kaleng yang dulu dilakukan dengan mencuri frekuensi. Infrastruktur Internet wireless ini merupakan kontribusi banyak pejuang IT di Indonesia yang berhasil mengkaitkan lebih dari 15.000 node pada hari ini dengan jumlah instalasi perbulan yang mendekati 2000 node sekarang ini. Antenna kaleng susu merupakan symbol kemudahan sebuah Infrastruktur Internet kerakyatan yang merupakan hasil konstribusi bangsa Indonesia pada dunia bahwa rakyat dapat membangun infrastruktur Internet-nya sendiri tanpa bantuan dana dari luar bahkan sering di sweeping polisi. Tidak ada negara lain di dunia yang mempunyai infrastruktur wireless internet sebesar Indonesia. Tidak ada negara lain di dunia yang mempunyai jumlah WARNET sebesar Indonesia dan terorganisir melalui AWARI, AWALI dll. Tidak ada negara lain di dunia yang mempunyai rakyat yang mampu membuat sendiri VoIP rakyat dalam jumlah besar. Indonesia adalah negara besar. Indonesia mampu membuka membuka mata banyak pemimpin negara berkembang lain akan solusi dan alternative pembangunan IT yang berpihak pada rakyat. Semoga para birokrat dan politikus di Indonesia menyadari hal ini.