Kreatifitas, Budaya, dan Peningkatan Kemampuan Onno W. Purbo Pagi 18 November saya berpartisipasi dalam sebuah session tentang masalah kreatifitas, budaya dan kapasitas dengan judul "Creative, Culture, Capacity .. From Geneva to Tunis, and the Transition to the Information Society". Session ini di organize oleh rekan saya Colin MacLay dari Berknman Center di Harvard University di Boston Amerika Serikat. Berkman Center adalah tempat lahirnya banyak pemikir cyberlaw di dunia. Salah satu yang paling terkenal adalah Lawrance (Larry) Lessig yang sekarang bekerja di Stanford University. Topik yang di bahas memang sama sekali bukan masalah IT bukan masalah Internet atau komputer. Tapi tentang kretifitas, budaya dan kemampuan. Pembicara termasuk President Paul Kagame dan Leonel Fernandez Alan Key, Clotilde Fonseca, Robin Mansell, Venancio Massingue, dan Hamadoun Toure. Ada banyak pendapat yang menarik yang saya peroleh dari sessi ini. Alan Key barangkali yang mempunyai pendapat / cara berfikir paling menarik dari sekian banyak pembicara. Karena cukup ketatnya waktu dan cara interaksi yang dilakukan saya tidak bisa secara satu per satu meng-quota para pembicara. Berikut adalah beberapa pendapat / kesimpulan umum yang saya peroleh dari sessi ini. Mudah-mudahan dapat bermanfaat untuk membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kreatif dan maju. Kreativitas memungkinkan perubahan paradigma dan cara bekerja / cara memecahkan masalah dari pendekatan yang top-down menjadi bottom-up. Salah satu hal yang menyebabkan internet dapat berkembang terutama karena budaya / lingkungan di amerika serikat yang memungkinkan orang berkerja di luar paradigma yang ada diluar pola fikir konvensional / normal / standard yang ada. Sebetulnya pada saat Internet berkembang telah ada "agama" di ilmu komputer yang sifatnya mapan. Tapi keberadaan "agama" dapat di dobrak oleh lingkungan yang memungkinkan orang untuk berfikir tidak linear dan de-konstruktif. Yang perlu di bangun adalah eco-system kreatif. Ekosistem kreatif ini umumnya berada di universitas. Dalam sebuah ekosistem yang kreatif ini kita harus mau mempunyai toleransi yang tinggi, mau menerima ide baru dan yang tidak kalah penting adalah kemauan untuk berubah. Barangkali yang relevan bagi kita di Indonesia, di negara berkembang, adalah perlunya dorongan untuk kontent-kontent baru dalam bahasa Indonesia; kemauan untuk share pengetahuan dari grass root. Sistem pendidikan terutama di negara berkembang kadang-kadang justru mematikan kreatifitas. Siswa banyak belajar sambil bermain. Pendidikan di negara berkembang umumnya sangat berpusat pada guru. Harus di ubah agar lebih berpusat pada murid dan memungkinkan murid untuk mengetahui apa yang dia suka, apa yang dia inginkan dan tidak di dikte oleh guru yang akhirnya akan mematikan kreatifitasnya. Dalam membangun kreatifitas sebuah bangsa anak muda adalah komponen yang paling paling penting. Mereka yang lebih mudah berubah dan lebih berani mengambil resiko akan hal-hal yang baru. Kalau boleh saya merefleksikan semua ini bagi Indonesia. Saya melihat kuncinya berada di sistem pendidikan di Indonesia, di guru, di DIKNAS. Contoh sederhana, waktu saya menjadi dosen ITB kebanyakan mahasiswa tingkat akhir selalu memberikan pertanyaan standard kepada saya, yaitu, "Pak, apakah punya topik tugas akhir?". Saya menjawab, "Kerjakan apa yang anda suka". Mahasiswa menjawab, "Saya tidak tahu saya suka apa, saya mengerjakan aja apa yang Bapak suka". Pertanyaan sederhana ini di lontarkan oleh mahasiswa ITB, tingkat akhir yang akan menjadi sarjana. Mengerikan jika kita memikirkannya, tapi ini merupakan refleksi dari akumulasi pendidikan yang sangat berpusat pada guru, mendikte siswa untuk mengerjakan hal yang ditentukan oleh guru tanpa di beri kesempatan siswa untuk bermain, mencari tahu keindahan dunia. Akibatnya, tanpa perintah guru mereka tidak bisa bekerja. Semoga laporan singkat ini dapat menjadi masukan bagi dunia pendidikan di Indonesia agar tidak menjadi diktator yang baik untuk siswanya. Memungkinkan para siswa untuk belajar sambil bermain; bukan mustahil kita akan melihat bangsa Indonesia yang kreatif di kemudian hari.