Pak SBY-JK, Telekomunikasi Rakyat Untuk Ekonomi Kerakyatan, Mungkinkah? Onno W. Purbo Rakyat Indonesia Biasa Pak SBY-JK, saya, rakyat biasa, turut prihatin dengan beban yang harus Bapak tanggung memenuhi janji kampanye yang lalu, khususnya dalam 100 hari kabinet. Terbayang dibenak saya, betapa sulitnya Bapak dengan kondisi keuangan negara di dominasi pembayaran utang luar negeri. Saya memang bukan ahli ekonomi, tapi tampaknya akan sulit mengandalkan pembiayaan negara untuk memutar roda ekonomi rakyat. Apalagi ditambah beban harus memenuhi hak dasar rakyat untuk bebas dari kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, ketidakadilan, penindasan, rasa takut dan kebebasan mengemukakan pikiran dan pendapatnya. Mudah-mudahan saya tidak salah, rasanya bagi kami, rakyat biasa, jika diciptakan kepastian hukum, peraturan, rasa aman untuk berusaha dan bekerja, tanpa perlu takut di sweeping & di palak aparat, rasanya dapat memenuhi sebagian besarnya hak-nya secara swadaya masyarakat, tanpa utangan luar negeri. Tentunya peningkatkan kapasitas diri / pendidikan menjadi kunci keberhasilan swadaya masyarakat. Swadaya masyarakat barangkali dalam ekonomi di kenal dengan investasi lokal. Tingkat keaktifan rakyat menabung dan melakukan investasi lokal mungkin jauh lebih menyehatkan perekonomian daripada mengandalkan investasi asing, apalagi utangan. Ditambah strategi ini secara sistematis mengurangi beban hutang negara. Adanya aktifitas swadaya masyarakat akan lebih menyenangkan bagi pemerintah karena pendapatan negara melalui pajak maupun pendapatan negara bukan pajak akan meningkat. Mungkin sulit dipercaya, karenanya mari kita simak sebuah pengalaman 10+ tahun terakhir dari puluhan ribu pejuang IT Indonesia, tanpa bantuan pemerintah, tanpa utangan Bank Dunia & IMF, tapi justru berhasil memperoleh recognition internasional, undangan menyebarkan pengalamannya ke berbagai negara berkembang lain dan bahkan diminta menjadi board of advisor di beberapa organisasi internasional. Pemenuhan agenda ekonomi untuk menuju masyarakat sejahtera melalui meningkatkan kualitas dan memperbaiki akses rakyat terhadap pendidikan sehingga dapat meningkatkan daya saing UMKM (dan mungkin pedesaan) melalui pengembangan dan penerapan ilmu dan teknologi tepat guna, seperti teknologi informasi dan infrastruktur telekomunikasi swadaya masyarakat. Mari kita tanyakan pada diri kita masing-masing, apakah pembebanan Rp. 1000-2000/siswa/bulan menjadi beban yang berat bagi meningkatkan penyediaan dan penyediaan sarana-sarana pendidikan sehingga dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan dan meningkatkan mutu pendidikan? dan meningkatkan akses rakyat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas? Saya yakin 70-80% dari 38 juta siswa Indonesia yang haus ilmu pengetahuan menjawab ?Rp. 1000-2000/siswa/bulan tidak berharga dibandingkan keuntungan yang diperoleh?. Apa arti Rp. 2000/siswa/bulan, bagi sebuah sekolah? Akses e-mail Internet sekolah yang hanya Rp. 80-100.000/sekolah/bulan menjadi tidak ada artinya. Ditambah, setiap dua (2) bulan sekolah dapat membeli sebuah komputer sederhana untuk mengkaitkan siswa ke Internet. Pada hari ini, baru 4000+ sekolah terkait Internet, memang kecil dibanding 220.000+ total sekolah Indonesia. Kita beruntung banyak inisiatif masyarakat berusaha membantu terwujudnya hal ini, apakah itu ?Internet Goes To School? PT. Telkom, Sekolah 2000 dari Asosiasi ISP Indonesia, Jaringan Informasi Sekolah dari Pendidikan Menengah kejuruan DIKNAS dll. Keberhasilan ini akan memudahkan akses 38 juta generasi penerus ke infrastruktur pengetahuan. Mohon dicatat jumlah siswa Indonesia ebih besar dari total penduduk Malaysia, Australia, ataupun Canada. Dengan terkaitnya generasi muda ini ke Internet, dikemudian hari akan membuat Indonsia kompetitif dan menstabilkan ekonomi makro. Mengapa? Generasi muda ini meningkatkan daya saing ekonomi dikarenakan peningkatan mutu dan produktifitas, yang antara lain dapat dicapai melalui invensi, inovasi, dan teknologi. Hal ini terjadi karena ekspose generasi tersebut ke dunia pengetahuan & informasi melalui akses Internet sekolah swadaya masyarakat tanpa utangan Bank Dunia / IMF. Tentunya infrastruktur Internet Sekolah saja tidak mencukupi. Infrastruktur informasi & telekomunikasi rakyat harus mampu memenuhi hak rakyat untuk memperoleh pekerjaan yang layak, maupun hak untuk berinovasi. Sebetulnya, infrastruktur Internet / telekomunikasi swadaya masyarakat telah lama di kenal, inovasi kasat mata adalah WARNET dan RT/RW-net yang menyambungkan RT atau RW ke 24 jam Internet. Pada hari ini, ada 2000+ WARNET; entah berapa RT/RW-net karena ?silent operation?. Investasi WARNET sebetulnya relatif murah dan dapat ditekan ke Rp. 15-25 juta/WARNET. Infrastruktur ini telah membuka lapangan kerja bagi 60-70.000 anak muda teknisi Indonesia operator WARNET dan RT/RW-net dengan rata-rata penghasilan Rp. 300-500.000/bulan. Belum lagi 10+ juta pengguna Internet Indonesia yang diuntungkan, bahkan sebagian bekerja tergantung WARNET / RT/RW-net. Hari ini, infrastruktur telekomunikasi swadaya masyarakat melibatkan 10.000+ titik jaringan Internet Wireless (pada frekuensi 2.4GHz dan 5GHz) karena relatif murahnya investasi yang Rp 1.5-3 juta / titik. Dengan investasi Rp. 300-700.000 / rumah, sebuah RT/RW-net dapat dibentuk untuk akses Internet 24 jam berbiaya Rp. 150-300.000/rumah/bulan. Proses menjadi swadaya masyarakat, karena murah dan mudahnya peralatan di operasikan. Sayang, pada hari ini, undang-undang telekomunikasi (UU36/99) dan peraturan pemerintah dibawahnya tidak mendukung infrastruktur telekomunikasi swadaya masyarakat yang kumuh. Undang-undang / kebijakan suka lebih berpihak pada entity yang besar, berbadan hukum minimal PT, berinvestasi semoga besar, dengan setoran pajak yang mudah-mudahan besar. Padahal, jika kebijakan lebih berpihak rakyat kecil, membebaskan belenggu ijin frekuensi, belenggu ijin ISP bagi RT/RW-net, memasukan WARNET & WARTEL dalam UU telekomunikasi, Pak SBY-JK akan meningkatkan pengguna Internet Wireless dari satu (1) juta, menjadi 20-an juta dalam 2-4 tahun mendatang. Dengan rata-rata pengeluaran Rp.10.000/bulan/pengguna, pemerintah memperoleh kenaikan pendapatan dari Rp. 7 Milyard/tahun (PPh Jasa) & Rp. 1 Milyard/Tahun (BHP Jasa Telekomunikasi) melonjak menjadi Rp. 128 Milyard/tahun (PPh Jasa) & Rp. 21 Milyard/Tahun (BHP Jasa Telekomunikasi). Jelas jauh lebih menguntungkan daripada, saat ini, Rp. 22 Milyard/tahun dari BHP Frekuensi sambungan microwave. Pasti Pak SBY-JK tidak akan keberatan dengan skenario ini. Konsekuensi signifikan terjadi pada peningkatan luar biasa kebutuhan peralatan Access Point Wireless Internet mendekati 7000 unit, peralatan client sekitar 129.000 unit. Ditambah jumlah serapan peralatan komputer yang mendekati dua juta unit dengan putran uang sekitar Rp. 8 trilyun. Kompetisi pada demand yang demikian tinggi akan menekan harga di masyarakat. Pemerintah Daerah akan diuntungkan. Konsensus International Telecommunication Union (ITU), kenaikan 1% infrastruktur telekomunikasi akan menaikan pendapatan daerah 3%. Artinya, melegalkan infrastruktur telekomunikasi rakyat mungkin menaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) mendekati 100 kali lipat! Tentunya dibarengi peningkatan kapasitas diri, pendidikan, dan pemangkasan birokrasi. Melihat demikian besar keuntungan, dengan hanya sedikit pengorbanan diawal dari pemerintah, dari pelegalan infrastruktur telekomunikasi swadaya masyarakat melalui membebaskan perijinan frekuensi 2.4GHz & 5GHz, RT/RW-net, WARNET maupun interkoneksi Internet telepon, semoga dapat menjadi alternatif bagi ekonomi Indonesia. Pak SBY-JK, saya masih percaya Bapak mampu memimpin bangsa dan anak buah Bapak, khususnya bidang telekomunikasi dalam perioda 100 hari kabinet Bapak.