Positioning Indonesia di World Summit on Information Society (WSIS) Onno W. Purbo Rakyat Indonesia Biasa World Summit on Information Society (WSIS) di Geneva tahun 2003 akan di lanjutkan di Tunis bulan November 2005 mendatang. Tampaknya Indonesia akan berpartisipasi lebih aktif dalam WSIS Tunis mendatang. Pihak KOMINFO tampaknya berinisiatif untuk membentuk tim untuk memimpin delegasi Indonesia ke WSIS mendatang. Isu mendasar yang harus kita tanyakan pada diri kita sendiri, maupun pada pemerintah Indonesia adalah apa yang ingin kita lakukan? apa yang ingin kita peroleh di WSIS Tunis mendatang? Kesempatan WSIS sangatlah langkah. Hanya pada kesempatan WSIS ini para pemimpin dunia di masyarakat informasi dunia akan berkumpul dan bertukar pikiran. Jika Indonesia tidak berhati-hati dan tidak berfikir panjang dalam menentukan langkahnya, maka kemungkinan besar apa yang di lakukan oleh Indonesia akan mubazir dan hanya membuang uang dan anggaran belanja negara saja. Tulisan ini akan mengusulkan beberapa langkah strategis yang mungkin dapat di ambil oleh Indonesia di WSIS supaya apa yang kita lakukan dapat maksimal dan tidak mubazir. Langkah yang di usulkan ini terutama di dasari oleh latar belakang pengalaman saya terlibat di WSIS pertama di Geneva, juga keterlibatan saya belakangan ini di beberapa lembaga / organisasi internasional seperti IDRC Canada, UNDP-APDIP, Orbicom, Digital Review Asia Pacific maupun sebagai anggota advisory board di Open Spectrum Foundation maupun rekan-rekan Open Source (IOSN). Dengan kondisi Indonesia yang kekuatan finansial-nya sangat terbatas, akan sangat berat sekali untuk berangkat dengan delegasi dengan kekuatan besar ke acara WSIS, kecuali kalau negara mau mengalokasikan dana dalam jumlah milyard-an. Bayangkan saja, harga tiket pulang balik akan mencapai US$2000-an / orang belum kamar & biaya hidup selama satu minggu di tempat acara yang biasanya berkisar antara US$200-300 / hari / orang. Belum masalah logistik lainnya, seperti pembuatan leaflet, booklet, pamflet maupun organizing seminar dan workshop-workshop tentang kegiatan pembangunan masyarakat & teknologi informasi di Indonesia. Semua akan membutuhkan man-hour dan biaya yang tidak sedikit jika kita ingin melakukannya dengan serius. Terlepas masalah logistik yang n'jelimet, kita harus menentukan positioning / prioritas tujuan / hasil yang ingin di capai di WSIS Tunis mendatang. Apakah Indonesia ingin menjadi pengemis? (misalnya minta pemutihan software bajakan), apakah ingin menjadi negara melarat? (misalnya mencari utangan luar negeri untuk proyek IT), apakah ingin menjadi pengamat pasif? (misalnya jalan-jalan saja ke setiap stand negara yang ada di situ & belajar dari negara lain), atau berperan lebih aktif, misalnya untuk menshare pengalaman Indonesia menjembatani digital divide yang ada secara swadaya masyarakat? misalnya menjadi contoh bagi negara berkembang lainnya yang kekurangan dana untuk membangun infrastruktur IT-nya secara swadaya masyarakat dan memberdayakan masyarakat? Terus terang, saya pribadi tidak terlalu suka untuk mengambil posisi sebagai pengemis & orang melarat untuk datang ke WSIS. Pengalaman saya di lapangan menunjukan bahwa bangsa Indonesia bukan bangsa yang “miskin”, tidak juga “bodoh”, tidak juga “pasif”. Banyak rakyat Indonesia yang maju bahkan secara organisasi komunitas telah banyak menunjukan banyak terobosan yang tidak pernah ada di tingkat dunia. Tidak ada negara di dunia ini yang mempunyai Asosiasi Warnet yang mengakar di komunitasnya seperti AWARI yang belakangan ini banyak di terjang oleh masalah sweeping software ilegal. Tidak ada gerakan masyarakat di dunia yang berhasil membebaskan frekuensi 2.4GHz seperti yang dilakukan oleh INDOWLI. Tidak ada negara didunia yang berhasil membangun RT/RW-net dalam jumlah banyak seperti di Indonesia. Gilanya semua di lakukan tanpa utangan Bank Dunia, tanpa utangan IMF, tanpa banyak di bantu pemerintah yang sedang sibuk mengurusi masalah integritas bangsa seperti Aceh, GAM, BBM, PILKADA, Korupsi dll. Tanpa kita sadari Indonesia adalah pemimpin dunia di masalah pembebasan frekuensi, WARNET, RT/RW-net yang semua berbasis pada pejuang arus bawah teknologi informasi. Hebatnya, banyak negara di dunia yang ingin belajar dari Indonesia bagaimana melakukan hal-hal ini. Bagaimana seni membangun gerakan masyarakat secara bottom-up dan berhasil dengan hasil yang luar biasa gemilang. Tidak ada negara lain, bahkan di tingkat ASEAN sekalipun yang mampu menyaingi Indonesia dalam melakukan gerakan grass root dalam sekala besar ini. Kalau boleh saya pribadi memilih, saya tidak akan mengambil posisi pengemis, orang miskin atau pengamat sebagai prioritas utama untuk datang ke WSIS. Saya akan memilih sebagai contoh bagi negara berkembang lain dengan membawa sarat pengalaman belasan tahun membangun infrastruktur teknologi informasi di Indonesia. Posisi mengemis, posisi orang miskin akan saya letakan pada rangking ke dua, ke tiga bahkan mungkin terakhir dalam positioning Indonesia di WSIS. Bagaimana langkah praktis yang mungkin Indonesia lakukan dalam positioning leader / contoh bagi negara berkembang lainnya? Tidak sukar sebetulnya, tapi memang positioning leader hanya bisa dijalankan oleh leader dan orang yang terjun ke lapangan secara langsung. Akan sulit menjalankan posisi leader jika dilakukan oleh orang yang bukan leader dan tidak menguasai lapangan. Idealnya, Indonesia dapat membuat booth sendiri tempat kita mengekspresikan hasil karya anak bangsa khususnya di bidang teknologiu informasi yang mengakar di arus bawah bangsa ini. Secara konvensional, kita dapat membagikan booklet, leaflet, pamflet, buku, memasang banner, spanduk, poster tentang kegiatan IT di Indonesia. Jika Indonesia mau bekerja lebih keras lagi, kita dapat mengadakan seminar-seminar, workshop-workshop, demo instalasi, meeting-meeting di booth Indonesia. Tentunya harus disiapkan peralatan multimedia, seminar kit, peralatan workshop & demo yang memadai untuk itu semua. Tentunya ini semua akan membutuhkan biaya yang sangat besar sekali. Jika kita tidak yakin dengan kemampuan dana Indonesia, cara yang paling sederhana dan mungkin akan lebih murah adalah melakukan kemitraan dengan banyak negara maupun organisasi internasional seperti UNDP, UNESCO, IDRC, APDIP, OSI untuk bermitra dengan mereka menyebarkan ide-ide / workshop / demo di acara WSIS. Jadi kita mengadakan seminar / workshop dengan mereka di tempat mereka. Kita (Indonesia) bahkan mungkin cukup membawa koper berisi baju, laptop, dan sedikit peralatan untuk demo. Jika Indonesia lebih kreatif lagi, kita dapat saja menghubungi kantor menteri KOMINFO negara-negara lain, untuk mengorganize acara-acara workshop / seminar bersama di booth mereka bukan di booth Indonesia. Dengan cara itu kita dapat langsung penetrasi ke para pengambil keputusan di negara sasaran. Saya yakin bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang miskin, bukan pula bangsa yang bodoh jika rakyat Indonesia tidak di tekan, tidak di sweeping, tidak di bodohi. Tentunya ini semua akan menjadi tantangan bagi pemerintah khususnya menteri yang menaungi ICT untuk memajukan ICT di Indonesia supaya tidak di anak tirikan bahkan tidak bisa menjadi tuan rumah di negara sendiri karena di sweeping, di palak dan tidak di bantu untuk pengembangannya. Pekerjaan ini bukan pekerjaan main-main yang bisa di sambi dengan pekerjaan-pekerjaan lain. Hanya komitmen dan dedikasi 100% seorang pimpinan bangsa ini yang dapat mengangkat bangsa ini dari jurang digital divide.