Pengalaman Communication Right Workshop Manila, 3-7 Agustus 2004 Onno W. Purbo Rakyat Indonesia biasa saja. Tanggal 3-7 Agustus 2004 saya terlibat di sebuah workshop tingkat regional tentang hak untuk berkomunikasi. Workshop tersebut di selenggarakan oleh Foundation for Media Alternative (FMA) yang bermarkas di Manila. Di sponsori oleh banyak organisasi seperti Bread for All, RSIS Champaign dll. Cukup banyak peserta yang hadir dari Thailand, Malaysia, India, Nepal, Korea, Jepang, India, Nepal, Australia, Swiss, Inggris, dan tentunya Phillipine sebagai tuan rumah. Dari Indonesia hadir dari Indonesia adalah rekan Bimbim dari ISAI Jakarta, rekan Imam Prakoso dari Combine Jogjakarta, dan saya sendiri tanpa organisasi apa-apa (maklum lah saya hanya rakyat biasa saja, pensiunan PNS). Pola workshop cukup standard di mulai dari sebuah keynote speech oleh Roberto dari Phillipina yang merupakan Bapak Internet di Phillipina. Beliau memberikan dasar untuk communication right berdasar pada ketergantungan kita kepada copyright. Berbasis asumsi tersebut di kembangkan konsep rentenir informasi / pengetahuan yang mengambil uang dari penjualan informasi secara on demand. Juga dikembangkan konsep cyberlord bagi orang yg menguasai informasi. Tentunya asumsi tersebut gampang sekali di patahkan jika kita tidak menganut aliran copyright sebagai pemroduksi informasi itu sendiri. Dengan kata lain, jika kita sebagai pembuat informasi / pengetahuan tidak menganut paham copyright, atau menyebarkan informasi / pengetahuan yg kita miliki secara gratis, maka tidak ada lagi ketergantungan pada rentenir & cyberlord informasi. Di lanjutkan dengan laporan dari masing-masing negara maupun pandangan dari beberapa ahli yang datang dari Swiss dll. Workshop berlanjut dengan usaha untuk membuat strategi di tingkat regional untuk mengadvokasi masalah communication right. Communication right disini termasuk hak untuk berkomunikasoi, kebebasan pers, kebebasan bersuara, akses ke Internet dll. Seperti kita ketahui bahwa strategi yang umumnya di anut oleh rekan-rekan advokasi sangat standard. Tidak lain, mencoba menyakinkan regulator bahwa hak untuk berkomunikasi itu harus di penuhi, berusaha mengubah regulasi melalui mekanisme perundangan, berusaha memasukan ke dalam agenda-agenda pembangunan dan politik agar hak berkomunikasi di penuhi. Jika masih juga tidak di penuhi, maka yang perlu dilakukan adalah melakukan advokasi bahkan jika di perlukan melakukan demonstrasi untuk menuntut hak-nya. Baru setelah dari sisi undang-undang / regulasi & kebijakan pemerintah memenuhi hak, mulai dilakukan pembangunan / proyek-proyek untuk pemenuhan hak tersebut. Semoga saja proyek & pembangunan yang dilakukan dapat merata. Tentunya kita tahu semua bahwa mekanisme demikian sangatlah membosankan, memakan waktu lama, makan hati karena di cuek-in oleh penguasa yang merasa lebih pandai dari rakyatnya. Belum lagi banyaknya KKN pada saat proses pembangunan & pengerjaan proyek karena banyak birokrat merasa berjasa untuk meng-goal-kan keinginan rakyat tersebut dan merasa wajib memperoleh bagian. Proses mark-up, meminta bagian menjadi hal yang lumrah dan di halalkan. Sialnya semua ini menjadi rahasia umum yang biasa dan lumrah, mengerikan memang. Dalam kesempatan tersebut saya menceritakan apa yang kita kerjakan di industri Internet & IT di Indonesia selama sepuluh (10) tahun terakhir. Dimana kita berhasil membangun & meningkatkan pengguna Internet di Indonesia dari nol menjadi delapan (8) juta pengguna. Bandwidth Internasional yang mencapai Gbps. 3000+ sekolah Indonesia dan 2000+ WARNET berada di Internet. Semua dilakukan di bawah ancaman & perlakuan represive dari oknum POSTEL & DISHUB yang melakukan pemalakan di lapangan, penyitaan peralatan Wireless Internet di 2.4GHz & 5.8GHz, intimidasi keharusan ijin menteri bahkan untuk WARNET yang paling sederhana sekalipun. Gilanya sebagian besar pembangunan industri Internet & IT di Indonesia dilakukan secara swadaya masyarakat, menggunakan uang / kocek rakyat sendiri, tanpa dukungan pemerintah, tanpa dukungan Bank Dunia, tanpa ADB, tanpa IMB di tambah beban harus memberikan uang operasional ke oknum POSTEL & DISHUB yang tidak tahu malu. Heran mengapa PAN tidak pernah memecat PNS pemalak itu ya? Karena tidak punya bukti? Kunci dari keberhasilan pembangunan itu sebetulnya snagat sederhana saja. Semua bukan bertumpu pada kemampuan kita dapat melobby pemerintah untuk membuat program pemberdayaan IT di Indonesia, tapi karena keberhasilan kita untuk memandaikan rakyat Indonesia di bidang IT. Melalui ajakan kepada para mahasiswa untuk menulis artikel, menulis buku, menyebarkan ilmunya kepada masyarakat. Mengadakan berbagai demo, seminar, workshop di berbagai kota di Indonesia dengan harga yang terjangkau bagi mahasiswa dan rakyat banyak. Mengajarkan bagaimana membuat sendiri Internet miurah. Terus terang, teknik pembedayaan masyarakat dengan cara mengajarkan pengetahuan IT kepada masyarakat dan akhirnya memungkinkan masyarakat untuk dapat membangun sendiri infrastruktur-nya sangat menarik bagi banyak peserta dari semua negara. Mereka yang biasa bermain dengan pola top-down cukup tertegun-tegun melihat kekuatan arus bawah dari pola bottom-up. Proses pemandaian / pemberdayaan masyarakat akhirnya menjadikan komunitas berkembang menjadi besar - hal ini di istilahkan oleh rekan-rekan peserta workshop sebagai "Onno's bubble" atau "Onno's effect". Tampaknya hanya Indonesia yang berhasil secara nyata menunjukan betapa besarnya kekuatan arus bawah jika kita pandai dalam memainkannya untuk memenuhi hak berkomunikasi rakyat. Gilanya semua dilakukan tanpa perlu bantuan pemerintah, utangan Bank Dunia, utangan IMF, utangan ADB, bahkan dalam kondisi tekanan pemerintah yang sangat represif dan aparat yang korup. Melihat itu semua rekan dari India akan mengundang saya untuk memberikan workshop di New Delhi ttg. strategi pemberdayaan masyarakat IT bagi kawasan Asia Selatan. Insya Allah akan dilakukan sekitar bulan January 2004. Di samping itu, Karen Banks salah satu aktifis perempuan dari Association for Progressive Communication (APC) mengajak bekerja sama agar dapat dilakukan workshop tentang design, instalasi & konfigurasi WiFi di Indonesia bagi para aktifitas perempuan APC seluruh dunia. Lokasi workshop tepatnya belum di tentukan, pilihan yang ada antara Jakarta, Jogyakarta dan Bali. Koordinasi sedang dilakukan dengan teman-teman aktifis Internet di Indonesia seperti Michael Sunggiardi, Aie, dll agar workshop WiFi bagi perempuan internasional ini dapat berjalan lancar. Tentunya saya juga sangat ingin mengajak rekan Angly Kusumo yang berupakan salah satu pentolan / jago WiFi perempuan di Indonesia untuk dapat turun dan memberikan workshop bagi perempuan lain di tingkat internasional. Sekian laporan pandangan mata dan pengalaman saya selama mengikuti workshop communication right 3-7 Agustus 2004 di Manila. Semoga dapat menaikan citra Indonesia di mata internasional.