Teknologi Informasi Indonesia Berharga di Mancanegara Onno W. Purbo Rakyat Indonesia Biasa Terus terang, saya kecewa dengan kebijakan teknologi informasi Indonesia belakangan ini yang lebih banyak inward looking, mengemis pemutihan, project oriented, berbasis utangan dan sangat supply driven. Tidak banyak usaha untuk memberdayakan rakyat, empowering demand, menjadikan rakyat mampu untuk memproduksi solusi sendiri. Pada saat tulisan ini di tulis, saya berada di Siem Reap, Cambodia di undang oleh PAN AsiaNetworking untuk memberikan masukan bagi program mereka selama lima (5) tahun ke depan. Pada kesempatan tersebut, saya bertemu dengan banyak rekan dari berbagai negara Asia. Kalau boleh saya berterus terang, banyak rekan di Asia terkagum-kagum dengan apa yang telah kita capai di Indonesia walaupun harus dilakukan dengan kondisi di tekan oleh berbagai kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat kecil, dan di peras oleh aparat seperti yang terjadi pada sweeping WARNET oleh aparat POLRI akhir-akhir ini. Rekan-rekan dari banyak negara Asia terkagum-kagum & terheran-heran melihat pemerintah Indonesia yang akhirnya mau membebaskan frekuensi 2.4GHz bagi Internet rakyat. Semua ini merupakan hasil perjuangan & pengorbanan banyak rekan di ITB, INDOWLI & APJII di Indonesia yang selama 12+ tahun terakhir dengan banyak di sweeping oleh aparat. Ternyata teknik-teknik perjuangan yang berbasis komunitas, swadaya masyarakat, pemberdayaan masyarakat melalui mendorong para aktifis untuk menyebarkan ilmu melalui berbagai tulisan, buku, workshop, demo sangat menarik untuk di adopsi negara berkembang di Asia & dunia. Perlu di catat bahwa Indonesia merupakan negara nomor satu di dunia yang berhasil mengimplementasi jaringan Internet wireless di frekuensi 2.4GHz dalam skala sangat besar, tidak ada negara lain di dunia yang mampu melebihi Indonesia dalam skala implementasi jaringan Internet wireless 2.4GHz. Yang mengagumkan dunia, ternyata perjuangan yang sifatnya swadaya masyarakat dan sangat arus bawah berhasil mengubah kebijakan telekomunikasi Indonesia untuk lebih berpihak para rakyat dengan di bebaskannya 2.4GHz. Tentunya perjuangan belum berakhir, rakyat Indonesia masih perlu membebaskan perijinan di frekuensi 5.2GHz, 5.8GHz, 10GHz, 24GHz, juga membebaskan Internet Telepon (VoIP) dan jaringan komunitas RT/RW-net agar rakyat dan industri IT Indonesia lebih maju lagi. Perlu di catat bahwa semua perjuangan ini dilakukan tanpa utangan bank dunia, tanpa utangan IMF bahkan tanpa banyak bantuan pemerintah & aparat. Apa akibat dari ini semua? Secara tidak sadar, ternyata pengalaman Indonesia sangatlah unik dan sangat cocok untuk kondisi di Asia maupun banyak negara berkembang yang umumnya terbelakang dan miskin. Pola-pola kebijakan yang ada di negara barat yang sangat taat aturan dan mempunyai uang banyak lebih sulit untuk di terapkan di negara berkembang / Asia yang terbelakang dan miskin, justru pola pembangkang yang di lakukan oleh Indonesia menjadi contoh keberhasilan real yang unik dan menarik bagi banyak negara. Pola pembangunan IT Indonesia memiliki daya jual tinggi sekali ke banyak negara berkembang di dunia. Hal ini di tunjukan oleh keberhasilan Indonesia mengirimkan belasan anak muda Indonesia ke Bangalore India di akhir January 2005, juga ke VietNam, belum terhitung banyak kontribusi programmer open source Indonesia di dunia dan dapat kita lihat dengnan nyata di Source Forge http://.www.sf.net dan masih banyak lagi contoh yang lainnya. Saya sendiri di Siem Reap, Cambodia memperoleh tawaran dari rekan dari Pakistan untuk mengajar di Universitas di Lahore selama satu tahun. Belum rekan dari Singapore yang menginginkan saya untuk memberikan guest lecture di NUS Singapore. Juga undangan untuk ke Korea untuk sharing pengalaman memberdayakan rakyat di Agustus 2005 mendatang. Tidak banyak aktifitas teknologi informasi untuk pembangunan rakyat yang memperoleh ekposure demikian tinggi di dunia. Indonesia ternyata telah menjadi salah satu pemimpin aliran pembangunan teknologi informasi arus bawah berbasis komunitas di dunia yang berhasil dengan baik. Hal ini akan menjadi lebih menarik dengan akan di adakannya World Summit on Information Society (WSIS) pada tanggal 16-18 November 2005 di Tunisia. Hampir semua pimpinan dunia akan hadir pada kesempatan tersebut, saya mendengar sayup-sayup bahwa SBY pun akan diusahakan hadir pada kesempatan tersebut. Kalau boleh saya memberikan saran bagi SBY-JK, Indonesia akan membuang uang sia-sia ke WSIS jika Indonesia mengambil posisi mengemis pemutihan software legal, mencari utangan, mencari bantuan dan mencari proyek ke WSIS. Hal tersebut tampaknya menjadi pola fikir standard di lingkungan birokrat, pembisik, penasehat & konsultan di lingkungan pemerintahan. Bapak SBY-JK – Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, banyak anak muda yang maju dan mampu menembus standard International dan pada hari telah menjadi contoh nyata bagi dunia. Kesempatan WSIS menjadi kesempatan emas bagi Indonesia untuk menunjukan solusi bagi negara berkembang lain di dunia akan alternatif cara pembangunan bertumpu pada empowering rakyat yang memungkinkan terjadinya pembangunan yang bersifat bottom-up swadaya masyarakat yang menjadi solusi murah bagi negara berkembang di dunia dan telah di tunjukan secara nyata oleh para aktifis teknologi informasi di Indonesia. Saya masih percaya bahwa bangsa Indonesia bangsa yang besar. Sayang tidak banyak birokrat berfikiran seperti saya.