Menggugat Copy Right di Yale University Onno W. Purbo Tanggal 21-23 April 2006, saya berkesempatan untuk berpartisipasi sebagai salah satu keynote speaker dalam konferensi internastional Access to Knowledge (di singkat A2K) yang di selenggarakan oleh Yale Information Society Project yang bermarkas di Yale Law School. Lebih dari lima puluh (50) pakar, analis, profesor, pemimpin dari lebih dari empat puluh (40) negara di dunia hari di kesempatan ini dan men-share pengalaman mereka. Pemikiran dan berbagi diskusi yang dilakukan dapat dengan mudah di akses di Internet melalui Wiki http://reseach.yale.edu/isp/a2k/wiki/ Secara administratif conference di bagi atas dua sessi, yaitu sessi keynote / planery biasanya di lakukan di pagi hari dan di hadiri oleh peserta dan keynote speech biasanya di berikan oleh orang-orang yang mempunyai authoritas tinggi yang diakui oleh komunitas yang hadir di conference Access to Knowledge. Di sessi siang, peserta di bagi dalam sessi-sessi paralel yang lebih fokus pada topik yang spesifik. Saya sendiri berkesempatan untuk berpartisipasi sebagai keynote speech pada bagian Limit of A2K di pagi hari. Conference Access to Knowledge memfokuskan diri pada isu & masalah-masalah sekitar bangsa di dunia (umat manusia) untuk mengakses pengetahuan. Ada banyak isu ternyata yang mencuat agar umat manusia dapat mengakses pengetahuan. Isu yang menarik terutama pemikiraan-pemikiran alternatif seperti copyright vs open source, insentif bagi peneliti vs. akumulasi dari pengetahuan, law-based vs. norm-based hingga hukuman dari masyarakat. Apakah benar copyright mendorong inovasi? Sebagian besar pembicara lebih banyak berbicara pada tataran konsep, definisi terutama diantara keynote speakers. Pada paralel session sebagian pembicara menyodorkan data-data real di lapangan yang menarik untuk di perhatikan. Salah satu pembicara di paralel session, DR. Bruno Lapote, The World Bank Institute, menyampaikan sebuah URL http://www.worldbank.org/wbi/kam/. Di URL tersebut data-data lengkap tentang ratusan negara di dunia dapat di akses dan kita di berikan tool dengan mudah membandingkan dan mengukur kemampuan Access to Knowledge di dunia. Secara iseng, saya mencoba membandingkan Indonesia dengan negara-negara lain di dunia. Ternyata hasilnya sangat menyedihkan, Indonesia kira-kira setaraf Vietnam dan kalah jauh dengan Malaysia, Thailand apalagi Singapore. Tidak terlalu mengejutkan memang. Yang cukup mengejutkan bagi saya terutama kesan yang sangat kuat sekali terhadap anti-copyright. Terus terang saya cukup terheran-heran dengan besarnya tekanan yang mempertanyakan kebaikan copyright. Kebanyak rekan-rekan / pakar dari Amerika Serikat, dan banyak negara lain yang hadir justru menghujat copyright. Prof. Jack Balkin, Yale Law School, menjelaskan bahwa ada tiga (3) hal besar yang mendorong kebutuhan akan access to knowledge, yaitu, (1) keadial, (2) isu sekitar economic development, dan (3) beyond copyright. Tentunya kemampuan setiap negara, setiap masyarakat akan berbeda-beda dalam access to knowledge, yang dapat berbentuk (1) human knowledge, (2) informasi / data, (3) pengetahuan yang ada di dalam peralatan (contoh kamus digital), dan (3) alat untuk memproduksi pengetahuan. Tujuan akhir dari access to knowledge sebetulnya sangat sederhana saja yaitu memperbaiki akses pada pengetrahuan dan mendistribusikan keadilan (justice) bagi seluruh umat manusia. Intelektual Copy Right menjadi hal yang tidak baik karena mengganggu distribusi keadilan. Informasi / pengetahuan harusnya tidak terpusat, lebih participatory. Semua yang sifatnya regulated cepat atau lambat menjadi deregulated. Prof. Eric von Hipper, MIT, Sloan School of Management, dengan perantara Chef (tukang masak) perancis, secara menarik menerangkan penggunaan hukum tidak tertulis, hukum adat, norm based yang bertumpu pada hukuman dari komunitas. Diantara para tukang masak pun ternyata ada open recipe dan closed recipe seperti open source vs closed source, satu hal yang pasti bahwa sesuatu yang sifatnya open perkembangannya jauh lebih cepat dibandingkan dengan sesuatu yang sifatnya closed. Prof. Michaeln Geist, University of Ottawa School of Law, menjelaskan sebuah prinsip yang sangat menarik dari komunikasi berbasis Internet. Konsep ini juga banyak di dasari oleh pemikiran-pemikiran dari Prof Larry Lessig, Stanford University. Prinsip dasar sebuah aturan di Internet harus-nya berprinsip end-to-end yang artinya kita harus membiarkan operator jaringan, seperti ISP, tetap bodoh tidak perlu harus di paksa mengetahui jenis paket yang lewat apakah itu gambar dari nona manis atau gambar dari majalah bobo. Semua tanggung jawab harus di serahkan pada ujung jaringan, yaitu, pengupload gambar di server, dan pendownload gambar di client. Penyedia server, penyedia sarana jaringan, ISP, Warnet harusnya di bebaskan dari tanggung jawab untuk mengetahui apa yang dilalukan oleh pengguna jaringan. Tentunya isu seperti bandwidth managemen menjadi sangat menarik disini, karena mulai menyalahi prinsip end-to-end, tidak mungkin sebuah manajemen bandwidth bekerja tanpa mengetahui tujuan / jenis paket. Pertanyaan pertanyaan seperti apakah benar copyright memberikan insentif bagi peneliti? Bukankah copyright & paten justru membuat informasi tidak dapat diakses oleh masyarakat? Copyright / paten justru membuat masyarakat harus menunggu 20-25 tahun sebelum dapat memanfaatkan dengan baik ilmu tersebut. Semua pertanyaan jenis ini sangat dominan di pelataran Access to Knowledge.