Kekalahan 3G, Kemenangan WiFi di Eropa Onno W. Purbo Rakyat Indonesia Biasa Saya kebetulan di minta untuk duduk sebagai anggota Board of Advisor dari Open Spectrum Foundation http://www.openspectrum.info sebuah organisasi di bawah pimpinan Robert Horvitz dari Praha yang memfokuskan objektifnya untuk membebaskan spectrum frekuensi, terutama untuk teknologi seperti WiFi & WiMAX di dunia. Tanggal 26 Mei 2005, board of advisor Open Spectrum Foundation mengadakan pertemuan di London, Inggris tepatnya di University of Westminster Cavendish Campus yang terletak di pusat kota London. Hadir pada kesempatan tersebut beberapa orang penting yang merupakan Board of Advisor Open Spectrum Foundation, seperti, Michael Marcus bekas FCC Amerika Serikat, Michael adalah otak di balik unlicense ISM band di Amerika Serikat, Dewayne Hendricks salah seorang pembrontak WiFi di Amerika Serikat yang di juluki Cowboy WiFi oleh Wired Magazine, John Wilson pemimpin Open Spectrum UK. Dewayne Hendricks juga merupakan teman / partner dari Larry Lessig salah satu tokoh utama Cyber Law dunia yang berusaha membebaskan frekuensi di US menjadi unlicense spektrum. Pada kesempatan tersebut kami berinteraksi dengan masyarakat Wireless di Inggris termasuk para pejabat tinggi OfComm (Office of Communications), kira-kira FCC-nya Inggris. Pejabat Ofcomm yang hadir antara lain, William Webb kepala R&D OfComm dan Ibu Hazel Canter salah satu tokoh senior OfComm. Di samping itu, juga hadir beberapa tokoh penting seperti Peter Cochrane bekas CTO British Telecomm yang merupakan salah seorang visionary di dunia yang menulis buku Uncommon Sense New Tips For Time Travellers, Charles Bass dari Wales dan Godron Adgey dari Devon dan banyak aktifis bawah tanah WiFi di Inggris yang dulu saya sempat bertemu di Djursland Denmark bulan September 2004. Ada beberapa hal penting yang menarik untuk di simak dalam beberapa pertemuan yang dilakukan pada tanggal 26 Maret 2004, terutama pada acara talk show yang di adakan malam hari di Science Museum's Dana Center di London. Saya cukup kaget mendengar hampir semua orang-orang penting yang hadir, semua praktis berpendepat bahwa 3G gagal. Investasi dan biaya yang mahal yang selama ini di keluarkan oleh operator 3G tidak berhasil membuat booming bisnis 3G di Eropa. Memang infrastruktur 3G berhasil mereka buat, tapi tidak banyak orang yang berlangganan 3G. Entah apa yang akan terjadi dengan perusahaan-perusahaan 3G, yang pasti kemungkinan besar sebagian besar perusahaan-perusahaan ini akan collapse karena akan sangat sulit sekali untuk mengembalikan modal investasi & biaya ijin yang mahal. 3G yang menjanjikan infrastruktur untuk mobile data kecepatan tinggi 2Mbps, pada kenyataan di lapangan tidak mampu untuk memenuhi secara 100% kecepatan 2Mbps karena infrastruktur data tersebut harus di share dengan pengguna lainnya. Sehingga throughput normal yang akan di peroleh biasanya tidak sampai 100Kbps. Para pengguna 3G di Eropa sering kali hanya mengejar handphone 3G yang diberikan secara gratis oleh operator 3G. Untuk apa? Jangan kaget ternyata untuk memperoleh kamera handphone yang baik, karena dapat menghasilkan gambar yang baik. Tentunya untuk menghemat pulsa umumnya para pelanggan ini tidak menggunakan 3G untuk mengirimkan gambarnya. Cara yang sering dilakukan adalah menggunakan Bluetooth untuk mentransfer gambar tersebut ke PC untuk kemudian mengirimkannya menggunakan WiFi yang ada di PC ke Internet. Solusi ini jauh lebih murah daripada menggunakan infrastruktur 3G. Berbeda dengan 3G yang investasinya mahal, dan diperoleh ijin-nya dengan membayar mahal ke pemerintah. WiFi yang biaya investasinya jauh sekali lebih murah telah menjamur. Cukup mudah untuk memperoleh servis WiFi di London. Memang tidak semua gratis, sebagian membayar sekitar 10 Pound (sekitar Rp. 170.000,-) untuk dapat di akses 24 jam. Cukup mahal untuk ukuran orang Indonesia biasa. Isu yang menjadi besar dari WiFi adalah masalah daya (transmitter power) terutama untuk di gunakan di rural / di daerah sebagai tulang punggung jaringan di pedesaan. Solusi yang di usulkan dan tampaknya cukup di terima oleh OfComm Inggris adalah setiap kenaikan kekuatan antenna sebesar dua (2) kali (3dB) maka daya pancar harus diturunkan 1/4 kali (atau sekitar satu dB). Dengan cara menurunkan daya pancar setiap kenaikan dua kali kekuatan antenna, akan menjamin gangguan yang tidak besar kepada sekitar kita. Hal lain yang menarik adalah logika berfikir dalam proses unlicensing band. Kita di Indonesia tampaknya selalu terperangkap dalam paradigma berfikir bahwa semua frekuensi harus di atur dan di kontrol dengan ketat oleh pemerintah, selain bahwa memang pemerintah melihat frekuensi sebagai sumber fulus yang lumayan besar. Logika berfikir yang menjadi dasar pengalokasian frekuensi terutama adalah masalah azas manfaat bagi rakyat. Jika pemberian frekuensi akan memberi manfaat bagi banyak orang maka proses pemberian lisensi akan dilakukan. Semakin banyak pengguna yang akan memperoleh manfaat dari adanya servis di sebuah frekuensi akan semakin menarik bagi pemerintah untuk mengalokasikannya. Dengan logika sederhana ini, tidak heran jika pemerintah justru cenderung untuk membuka unlicense band, karena jelas-jelas terbukti bermanfaat bagi rakyat banyak. Yang justru dipertanyakan adalah lisensi yang diberikan pada perusahaan / operator penyelenggara jasa. Sebagai contoh, Incumbent di Inggris tampaknya tidak berbeda dengan Incumbent di mana saja, mereka akan cenderung untuk berusaha memperoleh sebanyak mungkin frekuensi dan pada akhirnya akan mematikan usaha-usaha kecil dan rakyat yang ingin menggunakan frekuensi. Dalam diskusi dengan teman-teman dari Ofcomm (FCC-nya Inggris), ternyata Ofcomm akan membebaskan lebih banyak lagi frekuensi menjadi unlicensed band (Open Spectrum). Pada hari ini memang baru 6% dari frekuensi yang merupakan Open Spectrum. Target yang sedang dilakukan untuk menaikan menjadi 7-8% frekuensi menjadi Open Spectrum di tahun 2010. Bayangkan betapa cerianya para pemain Internet Wireless di Inggris & di Eropa. Justru, para Incumbent menjadi sasaran audit tentang effektifitas penggunaan frekuensinya apakah benar-benar bermanfaat untuk rakyat? Yang saya menjadi berfikir setelah bertemu dengan para aktifis Open Spectrum tingkat dunia adalah perlukah Indonesia bersusah payah menggalang investasi 3G yang di awalnya saja telah membuat keruh suasana dengan penjualan saham yang tidak baik. Pelajaran yang perlu dipetik dari OfComm Inggris adalah keberpihakan pemerintah pada rakyat yang justru terus membuka frekuensi-frekuensi baru menjadi Open Spectrum. Bagi para pengguna WiFi mungkin cukup familiar bahwa band 2.4GHz untuk di Eropa jauh lebih lebar daripada di Amerika Serikat, hal ini menunjukan bahwa Inggris dan Eropa lebih progressive daripada Amerika Serikat. Satu hal yang mereka (Amerika dan Eropa) perlu belajar dari Indonesia adalah teknik pemberdayaan rakyat secara swadaya masyrakat dan perjuangan membebaskan frekuensi 2.4GHz yang dilakukan secara hampir anarchis tapi berhasil dengan baik di Indonesia setelah berjuang 12+ tahun. Hal ini menjadi bahan masukan Open Spectrum Foundation dan banyak rekan negara maju tentang bagaimana cara mendobtak birokrasi di negara berkembang yang pemerintahnya korup.