Cercah Harapan Dari World Summit on Information Society 2003 Onno W. Purbo World Summit on Information Society (WSIS) baru saja selesai 10-12 Desember 2003 yang lalu. Pak Syamsul Mu'arif (Menteri Negara Informasi dan Komunikasi) mewakili kepala negara Indonesia, pimpinan delegasi resmi Indonesia yang jumlahnya beberapa orang, berkesempatan menyampaikan pendapat dan posisi Indonesia selama lima (5) menit pada tanggal 12 Desember 2003 di kesempatan akbar masyarakat informasi dunia. Di samping delegasi resmi republik Indonesia, segelintir rekan membawa nama baik Indonesia di kesempatan akbar tersebut, seperti Pak Naswil Idris, Pak Eka Ginting, Pak Idris Sulaiman dan beberapa lainnya yang membawakan makalah-nya masing-masing. Saya sendiri berkesempatan berpresentasi di dua (2) buah workshop, dua (2) buah seminar dan satu (1) buah planery talk di CERN pusat penelitian nuklir di Geneve tempat lahirnya WWW oleh Tim Berners-Lee tahun 1989. Semua presentasi saya dapat di ambil di http://sandbox.bellanet.org/~onno/ dan http://www.apjii.or.id/onno/ Kami non-delegasi resmi Indonesia berangkat tidak berada di bawah naungan bendera merah putih. Saya sendiri berangkat di sponsori IDRC Canada dan CERN Swiss. Tapi bukan berarti tidak turut mengharumkan nama baik Indonesia di mata masyarakat Informasi dunia. Satu hal menarik dari pengamatan saya berinteraksi dengan peserta WSIS maupun RSIS di Geneve, Swiss. Umumnya para pembicara lain berbicara pada tingkat abstrak, tingkat tinggi yang menjelaskan dan berdebat perlunya infrastruktur informasi, apa yang ingin mereka capai, apa yang ingin mereka buat, berbicara cita-cita. Hal ini membuat banyak peserta, termasuk saya, bosan mendengarkan berbagai ceramah tersebut. Hanya ada beberapa pembicara yang mempresentasikan pengalaman mereka yang real di lapangan. Terus terang, kalaupun ada yang real di lapangan, umumnya mereka dipasok dana dari donor agency seperti UNDP, UNESCO, CIDA, SIDA, USAID, dan dikerjakan oleh profesional. Saya termasuk sedikit sekali pembicara yang mempresentasikan pengalaman yang real di lapangan, yang bertumpu swadana & swadaya masyarakat, praktis hampir tidak di danai oleh pemerintah sama sekali. Alhamdullillah, tidak menambah utangan negara ke World Bank dan IMF. Bahkan masyarakat melakukan investasi sendiri infrastruktur informasinya, yang kemudian di juluki "RebelNet" sebuah the Indonesian community based infrastructure. Teknologi Internet menggunakan radio, bagaimana masyarakat membangun sendiri Internet-nya; bagaimana RT/RW-net di bangun; bagaimana VoIP Merdeka di bangun; bagaimana groups.or.id di bangun dan menjadi cikal bakal Open Source Development server di Indonesia; bagaimana berbagai roadshow ke daerah di organize dan di danai oleh masyarakat dan industri; bagaimana radio komunitas menjadi tumpuan bagi rakyat di daerah yang lebih suka berbicara dan mendengar. Tentunya hal-hal menyedihkan dan memalukan dalam proses ber-jihad membangun bangsa di sampaikan pula; bagaimana para aparat mengangkat peralatan radio Internet radio komunitas; bagaimana para petugas kanwil perhubungan meminta uang palak ke WARNET-WARNET; bagaimana beberapa teman harus merasakan penjara dan di interogasi oleh reserse ekonomi karena di anggap mencuri pulsa Telkom melalui VoIP; bagaimana petugas balai monitoring melakukan sweeping dan menyita peralatan wireless Internet di 2.4GHz & 5.8GHz bahkan juga terjadi sweeping di sekolah-sekolah. Terlihat jelas dari berbagai interaksi yang ada, tidak ada satupun negara di dunia ini yang mempunyai sejarah perjoeangan panjang 10+ tahun membangun masyarakat informasinya, yang mampu membangun masyarakat informasi-nya menjadi jutaan orang di tahun 2003 dari nihil di tahun 1993 yang lalu. . Tidak ada negara lain di dunia yang mampu membangun system dalam sekala besar seperti Indonesia secara swadana & swadaya masyarakat. Lebih lagi semua dilakukan dibawah tindakan represif pemerintah, kejaran aparat, penyitaan peralatan, berbagai tuduhan pencurian pulsa oleh Telkom. Tidak heran jika banyak peserta WSIS mengatakan "Indonesia is inspirational!!" Kemampuan memproduksi sendiri buku-buku maupun artikel IT oleh banyak penulis Indonesia dalam jumlah ribuan yang didukung oleh penerbit seperti Elexmedia, Andi Offset, Neotek, Bocor, maupun berbagai majalah IT seperti PC-Plus, InfoLinux dll ternyata menjadi kunci utama keberhasilan proses swadaya masyarakat yang bertumpu kepada proses pemandaian rakyat. Tidak ada satupun negara berkembang di dunia yang mempunyai catatan demikian explicit dalam kemampuan membangun sendiri pengetahuan IT-nya. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih saya sedalam-dalamnya kepada banyak pejoeang IT Indonesia yang memungkinkan semua ini terjadi, seperti Judith MS Srikandi ICT Indonesia, Basuki Suhardiman, Donny BU, Bona Simanjuntak, Adi Nugroho, Noor, Didin, Bino, Judhi Prasetyo, Michael Sunggiardi, Khalid Mustafa, Valens, Yohannes Sumaryo, Heru Nugroho, Johar Alam, Sammy, Agus Sutandar, Adri, Umar, Sandy Kusuma, Ase, Rusmanto, M. Ichsan dll. yang banyak berkorban tanpa pamrih membantu banyak gerakan IT di Indonesia. Tanpa pengorbanan para pejoeang ini tidak mungkin Indonesia menjadi inspirasi bagi banyak negara dunia lainnya. Apa yang dapat ditarik dari kesempatan akbar masyarakat informasi dunia tersebut? Indonesia ternyata memenuhi banyak prasyarat dalam memimpin, dalam memberikan contoh real kepada dunia tentang bagaimana membangun sebuah masyarakat informasi bagi dunia berkembang tanpa perlu bertumpu pada utangan Bank Dunia, IMF bahkan dengan bantuan yang sangat minimal dari berbagai badan dunia. Hampir semuanya bertumpu kepada kemampuan rakyat Indonesia sendiri. Beberapa peserta WSIS menjulukinya "Silent Revolt in Paradise". Proses pemandaian bangsa secara swadana dan swadaya masyarakat dalam jangka waktu yang lama menjadi kunci keberhasilan. Fasilitasi bagi kita di Indonesia untuk membantu banyak negara berkembang lain di dunia saat ini telah di siapkan oleh rekan-rekan di dunia dalam bentuk mailing list yang beralamat di wifi4d@dgroups.org. Saya berharap rekan-rekan yang ingin terjun membantu negara lain dalam bidang IT dapat ikut berdiskusi di mailing list wifi4d@dgroups.org. Bukan mustahil kita akan menambah devisa bagi negara Indonesia. Tentunya semua mudah di bicarakan. Dalam praktek-nya ada satu faktor yang akan sangat menentukan keberhasilan sebuah gerakan yang bertumpu pada kemampuan masyarakat. Leader, pemimpin gerakan menjadi faktor penentu utamanya. Bukan birokrat yang berada di balik meja kantor pemerintah, bukan politikus yang berpihak pada partainya, tapi pemimpin masyarakat yang berjoang untuk rakyat. Indonesia hanya akan mampu memimpin dunia ICT untuk development jika di pimpimin oleh seorang Leader yang merakyat. A leader who has the vision; who knows the way; who shows the way; who goes the way. Sayang, prasyarat tersebut tidak banyak terlihat di banyak birokrat dan politikus Indonesia yang sibuk dengan kepentingan partainya. Merdeka!!