Alternatif Strategi Industri Komputer & Telekomunikasi Onno W. Purbo Rakyat Indonesia Biasa Sebuah strategi haruslah didasari sebuah tujuan / misi yang jelas. Seorang rakyat biasa mungkin tujuan yang di inginkan sederhana saja, misalnya, ingin hidup yang lebih baik terutama bagi diri-nya sukur-sukur untuk keturunannya. Saya pribadi sebetulnya lebih suka untuk melihat bangsa ini dapat hidup dari kekuatan otak-nya, bukan kekuatan otot ataupun bedil. Beberapa prinsip umum alternatif strategi bagi industri komputer & telekomunikasi yang mungkin cocok untuk Indonesia dengan kondisi pemerintah yang tidak punya banyak uang, aparat & birokrat yang sering kali mudah di sogok, barangkali: 1. Rakyat harus dapat berfungsi sebagai penyelenggara dan produsen bukan sekedar konsumen atau yang di layani. 2. Sistem harus dapat bertumpu pada kekuatan rakyat sebaiknya swadaya masyarakat, bukan pada utangan Bank Dunia, IMF & ADB yang menjerat bangsa ini kejurang kemelaratan. 3. Bertumpu pada proses kreasi kebutuhan (create demand), bukan pada pemaksaan infrastruktur (supply push). 4. Sedapat mungkin tidak tergantung pada segelintir operator atau konglomerasi yang cenderung memonopoli dan mendikte harga kepada rakyat. Effek yang ditimbulkan dari strategi ini harus dapat di ukur, misalnya: 1. Presiden dan Wakil Presiden Indonesia harus dapat berkomunikasi e-mail dengan rakyat Indonesia secara aktif, bukan pasif (membaca saja). 2. Dalam 5 tahun mendatang harus ada 48+ juta siswa Indonesia berada di Internet. 3. Dalam 5 tahun mendatang harus ada 30 juta pengguna Internet komersial (non-siswa sekolah). 4. Dalam 5 tahun mendatang harus ada 100+ juta pengguna selular di Indonesia. Perlu di catat sekali lagi bahwa semua strategi yang di kembangkan sedapat mungkin bertumpu pada kekuatan rakyat, bukan utangan Bank Dunia, IMF maupun ADB. Dengan jumlah massa yang sedemikian besar, jangan kaget jika Indonesia mengalahkan Malaysia (23+ juta jiwa saja), Australia (20+ juta), Canada (31+ juta), Vietnam (81+ juta), Filipina (84+ juta jiwa). Indonesia bukan mustahil akan menjadi negara besar yang di segani di kawasan ini, Indonesia terutama di kalahkan oleh Cina & India yang mempunyai massa lebih besar. Perputaran uang yang ditimbulkan jangan kuatir akan amat sangat dahsyat, sebagai gambaran, 1. Perputaran uang Rp. 48-100 milyard per bulan dari proses internetisasi sekolah secara swadaya masyarakat. Dengan hanya Rp. 1000-2000/siswa/bulan. 2. Perputaran uang Rp. 300 milyard / bulan untuk industri ISP, dengan asumsi spending Rp. 10.000 / user / bulan. 3. Perputaran uang Rp. 3.75 trilliun / bulan dari servis SMS saja, dengan asumsi 5 SMS / user / hari. 4. dll. Belum termasuk efek multiplikasi ekonomi lainnya, misalnya, perputaran transaksi dagang antar bisnis yang menjadi lebih cepat, pembelian handphone untuk 100 juta pengguna dll. Semua efek multiplikasi ekonomi yang terjadi dapat bernilai 3-4 kali lebih besar dari nilai transaksi infrastruktur itu sendiri. Jadi tidak heran jika kita melihat perputaran uang dalam orde billiun rupiah, pemerintah cukup mengambil 10% dari perputaran tersebut sebagai pajak sudah cukup untuk hidup secara layak. Beberapa strategi sederhana tapi bernilai sangat strategis yang bertumpu pada fasilitasi kebutuhan akan dijelaskan berikut ini. Sekolah harusnya menjadi prioritas utama & nomor satu. Saya pribadi lebih suka melihat bangsa ini menjadi bangsa yang pandai, bukan bangsa pengemis yang hanya bisa berhutang pada Bank Dunia. 200.000+ sekolah di Indonesia harus dapat di sambungkan ke Internet secara swadaya masyarakat & bertahap. Penyambungan 200.000+ sekolah ke Internet, berarti akan menyambungkan 48+ juta anak bangsa ini ke dunia informasi & pengetahuan. Seluruh proses sebetulnya hanya membebani Rp. 1000-5000 / siswa / bulan. Siswa adalah mahluk hidup dan mahluk sosial, mereka akan secara naluriah berbicara pada orang tua, pada keluarga, pada lingkungannya. Mereka yang akan menjadi agent of change yang akan mengajari lingkungannya untuk ikut masuk ke dunia informasi & internet. Jangan kaget kalau siswa ini yang nantinya akan menaikan jumlah pengguna Internet di Indonesia secara umum. Training for trainer untuk guru menjadi mutlak. Akan lebih membantu jika ada arahan yg jelas dari DIKNAS untuk menjadikan IT sebagai bagian mutlak dari kurikulum. Harus di jaga agar tidak terjadi pemaksaan yang tidak pada tempatnya oleh dinas pendidikan setempat. Cukup banyak inisiatif internetisasi sekolah yang telah terjadi seperti Sekolah 2000 (APJII), WANKOTA / DIKMENJUR 3000+ sekolah, One School One Lab (OSOL) Menkominfo 44+ sekolah, Internet Goes To School (Telkom) yang baru saja mulai. Semoga bertambah marak Indonesia dengan semakin banyak-nya sekolah yang berada di Internet. Pembebasan 2.4GHz, 5-5.8GHz untuk Internet tanpa kabel menjadi sangat strategis. Peralatan Internet 2.4GHz dan 5-5.8GHz sudah sedemikian mudah dan murah untuk di implementasikan menjadi solusi alternatif yang manjur untuk membuat infrastruktur broadband 11-54Mbps swadaya masyarakat tanpa perlu tergantung operator manapun. Infrastruktur ini dapat menjadi solusi yang baik bagi penyelenggaraan jaringan sekolah seperti yang dilakukan oleh DIKMENJUR, JIS, WANKOTA dll menyambungkan 3000 sekolah. Maupun menyambungkan banyak RT/RW-net seperti yang dilakukan oleh banyak rekan di mailing list indowli@yahoogroups.com. Memang pemerintah kemungkinan akan kehilangan sekitar Rp. 22 milyard / tahun dari Biaya Hak Pemakaian (BHP) frekuensi dari 2900 sambungan microwave yang ada. Padahal, pembebasan Internet Wireless akan meningkatkan pengguna yang bertumpu pada Internet Wireless tadinya hanya sekitar satu (1) juta orang, menjadi berpotensi mengcover 17,8 juta pengguna Internet di Indonesia sebuah jumlah pengguna mendekati negara Cina pada hari ini. Jika setiap pengguna mengeluarkan uang Rp. 10.000/bulan untuk akses Internet, konsekuensinya, pemerintah akan memperoleh kenaikan pendapatan dari Rp. 7 Milyard/tahun dari PPh Jasa, Rp. 1 Milyard/Tahun untuk BHP Jasa Telekomunikasi melonjak menjadi Rp. 128 Milyard/tahun dari PPh Jasa, dan Rp. 21 Milyard/Tahun BHP Jasa Telekomunikasi. Jelas jauh lebih menguntungkan dari pada Rp. 22 Milyard dari BHP Frekuensi sambungan microwave yang ada saat ini. Kompetisi yang fair menjadi isu utama di industri telekomunikasi, karena incumbent yang dekat dengan pemerintah sering kali melakukan praktek kompetisi yang tidak fair. Misalnya melakukan bundling leased line dengan servis Multi Media Akses dari Telkom sehingga ISP tidak dapat memperoleh pelanggan leased line. Hal demikian harus banyak di benahi secara aktif dan berani oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan jangan hanya duduk mendengarkan laporan dari bawah saja. Membuat kompetisi di industri selular menjadi lebih kondusif menjadi prioritas yang lebih utama. Kenyataan di lapangan pelanggan selular bertambah secara eksponensial jauh lebih cepat daripada pelanggan fixed line (Telkom). Kenyataan di lapangan terjadi ketidak adilan dalam industri selular, karena adanya CDMA TelkomFlexi yang di akukan sebagai fixed wireless (padahal kenyataan adalah selular) dan membayar biaya sewa frekuensi paling tidak 1/32 dari selular GSM sehingga tidak mengherankan jika pulsa TelkomFlexi jauh lebih murah dari GSM. Tidak heran melihat tindakan tidak fair ini terjadi, karena kedekatan incumbant (operator lama) terhadap pemerintah. Agar kompetisi menjadi lebih fair, harus diusahakan untuk mengubah airtime TelkomFlexi atau mengubah airtime GSM. Penaikan airtime TelkomFlexi merupakan solusi yang tidak populer, penurunan airtime GSM secara bertahap akan menjadi solusi yang jauh lebih populer. Hal ini akan mendorong pulsa selular yang lebih murah lagi, dan pada akhirnya akan menaikan jumlah pengguna selular di Indonesia. Saya berani menjamin bahwa kebijakan seperti ini akan sangat di dukung oleh operator GSM :) .. Beberapa selular operator, seperti XL, ternyata telah menggelar sendiri infrastruktur backbone fiber optik-nya. Sebagai contoh XL pada hari ini telah menjadi de-facto alternatif backbone fiber optik yang banyak di andalkan oleh banyak operator / ISP dalam memberikan servis akses Internet kepada masyarakat. Hal ini terjadi karena DIVISI NETWORK Telkom tidak se-responsive XL yang swasta murni. Tentunya akan lebih baik lagi jika ada lebih banyak operator selular sejenis XL di Indonesia khususnya untuk mengcover Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Timur. Sebetulnya operator selular yang ada di Indonesia umumnya tersambung ke Internet, beberapa operator selular bahkan memberikan servis data menggunakan GPRS, seperti Matrix, XL dll, maupun EV-DO seperti Moble8 (Fren) yang berkompetisi pada akses data kecepatan tinggi 100Kbps ke atas. Servis yang mungkin akan menarik bagi pengguna data akses menggunakan selular ini adalah Internet & Virtual Private Network (VPN) ke ISP. Akses Internet melalui infrastruktur selular menjadi alternatif bagi banyak pengguna, seperti, sekolah, kantor maupun rumahan yang sulit di jangkau oleh Telkom. Internet Telepon (VoIP) menjadi menarik karena memungkinkan kita membypass pulsa SLJJ dan SLI. Pemerintah harusnya berani mengatakan secara eksplisit bahwa semua layanan VoIP yang tidak komersial, antar kantor, antar masyarakat di bebaskan dari perlu-nya ijin penyelenggaraan VoIP. Hanya operator yang memberikan servis pada publik (masyarakat) yang memperlukan ijin operator VoIP. Diantara sekian banyak operator selular, XL barangkali salah satu operator yang mempunyai ijin penyelenggaraan VoIP. Kalau XL maupun operator selular lainnya yang mempunyai ijin VoIP untuk memberikan akses VoIP melalui jaringan data GPRS maupun EV-DO-nya secara Virtual Private Network (VPN), agar institusi yang tersebut melalui GPRS / EV-DO akan masuk dan terdaftar ke gatekeeper VoIP, memperoleh nomor 08xxxxxx dan dapat langsung menelepon ke berbagai penjuru tanah air, termasuk handphone langsung dari PABX di kantor / sekolah masing-masing tanpa perlu melalui Telkom lagi. Semoga paragraf ini dapat dibaca dan di mengerti oleh para operator selular. Jadi secara umum strategi yang di gelar sangat sederhana, Internetkan 200.000+ sekolah, bebaskan 2.4 dan 5.8GHz, fair kompetisi di dunia telekomunikasi khususnya selular. Tidak banyak harapan seorang rakyat Indonesia biasa-biasa saja, saya hanya ingin melihat bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan kompetitif tidak di tunggangi oleh keserakahan politik yang membabi buta seperti terlihat di masa lalu. Merdeka!!