"Telecommunication Divide" dan Tantangan Untuk Telkom Oleh: Onno W. Purbo Tanggal 17 Mei lalu adalah hari telekomunikasi se dunia di canangkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa untuk menggugah kesadaran negara di dunia akan lebarnya jurang hak bertelekomunikasi rakyatnya. Semoga hari telekomunikasi bukan ritual semata, apalagi bagi Indonesia yang ekonominya terbelakang dan miskin jaringan telekomunikasi. Indonesia dengan 210+ juta penduduknya ternyata hanya memiliki kepadatan telekomunikasi (teledensity) yang 4 persen dengan delapan (8) juta sambungan telepon tetap (fixedline). Dari sekitar 55 juta rumah tangga hanya 12.6% memiliki telepon, 5% memiliki komputer pribadi, 57% memiliki televisi. Belum kenyataan pahit adanya 43.000 desa, dan lebih setengah dari 4000+ kecamatan di Indonesia belum tersentuh jaringan telekomunikasi dasar. Indonesia paling rendah dibanding negeri-negeri Asia lain dalam prosentase keluarga yang memiliki sambungan internet, telepon dan penggunaan komputer pribadi. Lebih rendah dari Cina maupun India. Kepadatan telekomunikasi hampir selalu berbanding lurus dengan tingkat ekonomi sebuah negeri. Survei International Telecommunication Union (ITU), setiap penambahan densitas telepon sebesar 1 persen akan merangsang 3 persen pertumbuhan ekonomi. Fakta ini menjadi pemicu bagi industri telekomunikasi untuk mengelar infrastruktur-nya dan memberikan keuntungan baik yang tangible maupun intangible pada rakyat. Melihat minimnya pembangunan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia, tak berlebihan untuk mengatakan bahwa Telkom yang hampir berumur satu abad sejak didirikan pada zaman kolonial Belanda selama ini tidur pulas dan tenggelam dalam tradisi BUMN yang lamban dan tidak effisien dan terkesan berlindung di balik peraturan / perundangan. Keberadaan operator selular di Indonesia menjadi solusi bagi pemenuhan hak telekomunikasi rakyat, sekaligus tantangan bagi Telkom. Di awal tahun 2002, pelanggan selular telah melampaui fixed line yang hanya sekitar 7,7 juta sambungan. Hari ini jumlah pelanggan selular telah mendekati angka 30-an juta pelanggan. Di tambah, kondisi Telkom hari ini yang memungut biaya aktifasi fixed line yang relatif tinggi sekitar Rp 300-500.000 ditambah biaya tiang telepon di daerah pedesaan. Tidak ada servis pra-bayar dan tidak banyak memiliki servis tambahan, seperti, SMS, caller-ID menyebabkan terjadi pergeseran pelanggan menuju selular yang memberikan kemudahan berupa, (1) rendahnya biaya aktifasi selular yang hanya Rp. 15-20.000,-; (2) mudahnya untuk memperoleh voucher untuk refill di pasaran; (3) keragaman servis yang di tawaran oleh selular, seperti SMS, MMS, caller-ID, GPRS, dan (4) semakin berkembangnya coverage selular. Antenna selular external seharga Rp. 150-300.000 buatan lokal menjadi solusi bagi mereka yang berada di daerah pedesaan yang jauh dari Base Station selular. Baru tiga (3) tahun terakhir, Telkom mulai berani berbicara tentang kewajibannya untuk membangun infrastruktur telekomunikasi di daerah. Sesuai aturan Universal Service Obligation (USO), Telkom harus menyisihkan 0,75% dari penjualan kotornya untuk membangun infrastuktur tersebut. Ganjalan yang ada tampaknya datang dari pemerintah yang tidak mempunyai peraturan yang jelas untuk pelaksanaan USO. Dengan diselubungi bulu domba, serigala TelkomFlexi dengan argumentasi "limited mobility" disodorkan sebagai solusi cadangan alternatif mahalnya penggelaran infrastruktur kabel. Bagi daerah pedesaan yang sulit akses telekomunikasi, dapat menjadi USO. Tantangan bagi pemerintah untuk membuat lapangan bermain yang sejajar dengan para operator selular, terutama biaya airtime yang tidak fair antara "mobile" dan "limited mobility", tampaknya bukan pekerjaan rumah yang mudah. Bagi dunia komunikasi data & Internet, kebutuhan USO menjadi berbeda sekali. USO di dunia Internet, lebih identik dengan mengubah budaya bangsa, dari budaya bicara menjadi budaya baca-tulis yang akan membangun demand / kebutuhan akan infrastruktur Internet. Pembangunan demand hanya mungkin terjadi dengan baik jika kita dapat mengkaitkan semua 220.000+ sekolah dan sekitar 38 juta siswa Indonesia ke Internet. Perlu di ingat sebetulnya proses ini dapat swadaya masyarakat dan hanya membebani Rp. 2000-5000 / siswa / bulan. Sejak pertengahan 2004 Telkom secara berani telah mengambil inisiatif Internet Goes To School (IG2S) yang menjadi tandingan Sekolah 2000 dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Harus di puji beberapa Divre & Kandatel bahkan berani memberikan utangan bagi sekolah yang berani maju ini untuk membeli komputer & menyediakan infrastruktur. Sayang hal sangat positif ini tidak di dukung pemerintah, saya pribadi berharap pemerintrah mengubah paradigma berfikir USO dan memasukan usaha memandaikan bangsa sebagai salah satu bentuk USO. Tanpa keberadaan anak bangsa yang pandai, tak mungkin Indonesia menang kompetisi global. Dari informasi yang ada, tampaknya dalam tiga tahun terakhir, Telkom membukukan laba yang relatif tinggi. Walaupun belum sempurna, tampaknya tantangan industri telekomunikasi dan tekanan konsumen menyebabkan terjadi efisiensi dan perombakan kultur perusahaan dari perusahaan "menak & pangeran" menjadi lebih berorientasi pada pelanggan. Juni mendatang Telkom akan melakukan rapat umum pemegang saham untuk melaporkan keuntungan, dividen untuk pemerintah dan pergantian direksi. Tahun ini, Telkom tampaknya mengusulkan dividen 40% kepada para pemegang saham; termasuk pemerintah Indonesia yang mengusai 51% sahamnya. Tentunya kewajiban telkom tidak hanya memberikan keuntungan dan dividen bagi pemegang saham. Pertanyaannya, siapkah Telkom mengembangkan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia? Beranikah Telkom berkompetisi secara fair, terutama masalah interkoneksi dan clearing house trafik telekomunikasi? Beranikah Telkom untuk tidak melakukan bundling jasanya sehingga merupakan monopoli terselubung? Mungkinkah sebagian dividen di manifestasikan dalam bentuk pengurangan tarif, investasi infrastruktur, pengembangan SDM, perbaikan kualitas layanan? Tantangan ke depan bagi para operator telekomunikasi dan regulator akan semakin pelik dengan berkembangnya "distruptive technology" seperti Internet Telepon (VoIP), WiFi, WiMAX yang didasari oleh teknologi Internet, yang murah & mudah untuk operasikan sehingga keberadaan operator telekomunikasi menjadi sangat terancam; atau sebaliknya justru menguntungkan? Tergantung kejelian operator melihat kemungkinan kerjasama dengan infrastruktur kerakyatan. Dipacu oleh pembebasan frekuensi WiFi 2.4GHz pada tanggal 5 January 2005, perusahan-perusahaan besar dan banyak RT/RW-net berkembang dan memperoleh akses Internet 24 jam. Di banyak kota, pada hari ini akses Internet 24 jam unlimited berbasis WiFi di jual ke rumah-rumah dengan biaya Rp. 150-350.000 / bulan. Hal ini tantangan langsung pada servis ADSL Telkom & GRPS selular. Keberadaan akses Internet 24 jam unlimited di tambah Internet Telepon berbasis Session Initiation Protocol (SIP) menjadi momok operator telekomunikasi. Sentral telepon open source SIP seperti Asterisk (http://www.asterisk.org) menjadi basis bagi para operator VoIP pemberontak Internasional, yang lebih canggih daripada VoIP Merdeka Indonesia. Teknologi VoIP berbasis SIP sangat distruptive, dan memungkinkan sebuah kantor untuk memperoleh nomor telepon sendiri dari Inggris dan Washington DC Amerika Serikat secara gratis. Artinya sebuah kantor atau RT/RW-net di Indonesia, dapat mempunyai nomor telepon VoIP Inggris atau Washington sendiri secara gratis dan dapat dihubungi dari Telkom maupun selular Indonesia dan gilanya, komputer / telepon VoIP anda akan bunyi "kring" saat di telepon Telkom. Nomor telepon VoIP gratis Inggris dapat diperoleh dari http://www.opentelecoms.org/, http://www.voiptalk.org, http://www.gossiptel.com; sedang Washington DC dari http://www.kallfree.com/. Ilmu lengkap tentang jaringan VoIP Pembrontak ini dapat di ambil gratis dari http://www.voip-info.org. Tidak heran jika Henry Sinnreich, pakar rekayasa MCI, mengatakan pada 2008, VoIP akan menggerogoti cash flow industri itu di seluruh dunia sebesar 40% (atau sekitar US$ 180 milyar). Sedang John Melick, direktur Primus Telecommunications, melaporkan pada 2004, percakapan internasional mencapai sekitar 770 juta menit percakapan sebulan, lebih dari 40%-nya disalurkan melalui internet publik. Kreativitas dan imajinasi dibutuhkan untuk merombak paradigma. Dalam tiga tahun terakhir, Telkom mencoba mengubah watak dan menyesuaikan dengan perkembangan baru. Tantangan bagi Telkom sangat besar di tahun mendatang. Telkom membutuhkan manajemen dan direksi yang terus bisa mengimplementasikan efisiensi, tidak takut persaingan, bersikap profesional, dan mampu mengambil manfaat perkembangan teknologi mutakhir. Hanya dengan begitu Telkom akan membawa maslahat bagi rakyat Indonesia, sesuai dengan tema Hari Telekomunikasi se-Dunia tahun ini: "Saatnya Beraksi -- Menciptakan Kesetaraan Informasi dalam Masyarakat".